Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘@agnasky’s poem’ Category

MATAMU, Peluru!

AKU. sepucuk senapan tanpa peluru. lubang besar bersarang di dadaku sejak engkau meledak, melesat meninggalkanku.

PERGIMU menyulut sumbu. moncong sepi menghantui hari-hariku. tak cukupkah kau berondong aku dengan diammu?

ADA yang lebih kutakuti ketimbang senapan api – sepi yang kauledakkan, padaku sunyi kaualamatkan.

ENGKAU pemburu, seribu pesonamu adalah peluru. aku tersesat di hutan ragu, diburu waktu – tolong, bunuh saja rinduku!

——-

thanks to @hotfashionholic yang sudah menembakkan sajak berikut :

“Matamu peluru. Dadaku sasaran bisu. Tutur katamu mesiu. Hatiku tumbang membiru.”

Read Full Post »

PADA kopi secawan, apa yang bisa kuharap, kawan? Pada pekatnya, aku terbiasa memperdaya rasa penat, berharap ia tersesat.

LALU di televisi, apa yang aku cari? Jika hanya beroleh nyeri, baiknya kutinggal pergi. Biarlah ia, asik menghibur diri sendiri.

Read Full Post »

CINTA adalah…….

CINTA adalah,
kata yang tak juga mampu mengalir dari tangan penyair. Tercekik sedu sedan. Tertelan dada yang bimbang.

CINTA adalah,
keluh yang enyah malu-malu dari perih lukaku, gusar yang diam-diam pergi dari memar kecewaku.

CINTA adalah,
gelap yang tak mampu kaubaca, diam yang tak sanggup kaueja. Lalu kaunyalakan kandil di dadamu, dengan detak jantungmu.

CINTA adalah,
sebentuk keranda bagi luka, untuk dikuburkan ke dalam lupa, lalu diberi senyum sebagai nisan penanda.

CINTA adalah,
sunyi yang menempati pergimu, riuh yang menemani hadirmu.

CINTA adalah,
peluk yang membuatku terlelap, tepuk yang membuatku terjaga. Lalu di atas sajadah, kucari-cari pemiliknya.

CINTA adalah, restu yang tak lekang waktu, kerut yang tak juga menyerah. Hei, itu ibuku! Juga bapakku!

Read Full Post »

Ajari Aku, Ibu…

IBU.
ajari aku cara melukis cinta. seperti ketika engkau begitu ringan menggambar penat, hanya dengan segaris lengkung senyuman.

IBU.
ajari aku cara mengusir nyeri. seperti ketika engkau terbiasa melarikan sepi ke halaman, berbekal sapu lidi di genggaman, tanpa sebaris gumaman.

IBU.
ajari aku cara membungkus gusar. seperti ketika tangis kanakku membangunkan tidur malammu dengan kasar, lalu kauelus perutku yang lapar, dengan segenap sabar.

IBU.
kadang kami sibuk bertikai, di depan api yang lalu terbengkalai. sedang engkau lebih suka sendiri tertegun, menjaga nyala di hatimu tetap unggun.

Read Full Post »

Sebenar-benarnya Engkau

wahai cinta selembut awan.
hendak kemana engkau berjalan.
di negeri mana diam bertahan.
bolehkah aku turut bermalam?

engkau kandil yang kemerlap.
pelita di malam gelap.
dian penerang hati yang kalap.
pandu pengantar ke negeri lelap.

datanglah wahai engkau juwita.
di terik siang atau gulita.
usah bicara sepatah kata.
kita berbincang di tatap mata.

di bening matamu kekasih.
awan berarak berwarna putih.
camar mengepak menepis buih.
menghalau cemas mengusir pedih.

di derai rambutmu harum.
kau sembunyikan seribu senyum.
terjatuh aku di pipimu ranum.
dengan jantung seribu dentum.

Read Full Post »

Kuyup wajahku, bermandikan basah kabut cinta-Mu. Kujemput sisa tetesnya pada pucuk embun selepas subuh yang anggun.

Kubentangkan dada di pelataran tanpa tenda, membaca sajak-Nya yang tak kenal jeda, lesapkan luka di alam terbuka.

Ah, mata ini kian lamur, terhalang dosa yang menjamur, seiring rasa syukur yang semakin menipis di sisa umur.

Mata ini, kadang pula buram karena luka. Ah, akan terus kubasuh ia dengan udara pagi yang jernih, biar kian takdzim melihat ayat di tiap musim.

Tuhan. Bukan tubuh renta yang kutakutkan, bukan beban sarat yang kurisaukan, melainkan cinta-Mu yang kadangkala tak kuhiraukan.

Read Full Post »

Tentang WAKTU

Apakah WAKTU? Ia, serupa lumpang batu, tempat kutumbuk biji kenang, bersama butir doa, mimpi, serta curah air mata.

WAKTU juga semacam ulekan, tempat segala aroma dan rasa berbaur. Seberapa banyak putaran doa dan ragu yang kita bubuhkan?

Kadangkala WAKTU seperti wajan. Kita merebus isi kepala. Semakin matangkah biji-biji pikiran yang kita punya, ataukah sekedar melepuh bersama keluh?

Read Full Post »

Tentang SIANG

SIANG hampir menghilang. Ah, entah sudah berapa banyak cahaya matahari, yang berhasil kusekap dan memberi terang di dada ini.

SIANG adalah pagi yang kami tanam di ladang hari. Kami masih menerka-nerka, senja seperti apa yang akan kami petik sebentar lagi.

SIANG bagiku adalah saksi yang tegas, tentang langkahku yang gegas, gerak yang lekas, dan kenangan tentangmu yang terus membekas.

SIANG ini, di bawah tudung matahari, aku bersaksi tentang penatnya hari, dari jalanan yang kususuri, serta rindu yang kerap datang melingkari.

Dan di SIANG ini, aku belum mau berhenti, mengejar sisa matahari, membawanya pulang sebelum senja nanti, agar nyala perapian di rumah kami.

Read Full Post »

Aku, Kamu dan Malam

Tiba-tiba kubayangkan Melbourne. Bukan gemerlapnya yang tak pernah kulihat, tapi huruf-huruf berloncatan di atas iPhone-mu.

Kubayangkan pula kau tergugu, ikan berenang di bola matamu mendadak kaku, menatap tajam layar sebuku. Kau, terganggu?

Siapakah yang menyeretku, ke jendela kecil maya sebuku? Mataku larung ke gerai rambutmu, serasa aku terselip di situ.

Senja menyusut di sudut kamar, seiring malam merangkak samar. Mengapa dadaku serasa melar? Ah, kauselip sajak seribu lembar.

Aku hanya lelaki bercaping hutan dan hujan, sedang engkau perempuan berpayung airmata kenang. Kita bertemu di samudera kata.

Malam belum juga mengangkat penanya dariku. Ia masih rajahkan gigil di sekujur tubuhku, lukiskan wajahmu di pelupuk mataku.

Aku, petani sepi di ladang tanpa tepi, pemburu rindu di hutan tanpa pandu. Kamu, gemuruh riuh di ladang sunyi, jejak tugu di hutan ragu.

::: didedikasikan untuk @hotfashionholic di Melbourne.

Read Full Post »

Di Buram Senja

Di sini senja belum juga memerah. Ah, sepertinya langit masih kuyup dicekam hujan yang resah.

Dan di senja kali ini, bumi rasanya sepi menggigit, tanpa musik dan lirik. Entah di mana sembunyi, ia sang penabuh larik.

Aku tengah mengumpulkan remah ingatan hari ini. Barangkali ada yang terjatuh, dan itu tentang mereka, orang-arang terkasih.

Buram senja menyapu kaca jendela, saat kupergoki senyap berjingkat-jingkat di pelataran yang gelap pekat. Aku terkesiap.

Ada yang selalu kurindukan saat senja berganti malam, cahaya kunang-kunang berenang melintas di bening bola matamu.

Read Full Post »

Tentang Malam (1)

MALAM, kirimkan gelap dan senyap. Ingatkan kami, sepasang mata sepasang telinga. Terlalu sering, pura-pura buta pura-pura tak mendengar.

MALAM, mengajak kami lindapkan amarah, lesapkan resah gelisah. Seharian kami menabuh riuh, di jantung penuh gemuruh.

MALAM, setangkup daun sirih. Kami rebahkan letih di desau angin yang lirih, karena kami tak fasih merintih perih.

Read Full Post »

Utopia

Kukira engkau sembunyi di buram kaca jendela, hujan tadi sore embunkan wajahmu di situ. Ah, tak ada siapa-siapa.

Kusangka engkau sembunyi di balik ketuk. Tergopoh aku ke daun pintu. Ah, tak ada kamu di situ, kecuali degup jantungku.

Kuduga engkau sembunyi di balik terang, hingga kunyalakan seluruh ruang. Ah, hanya potretmu yang dulu nyaris kubuang.

Kurasa engkau sembunyi di dalam gegas, hingga kuenyahkan segala malas. Ah, tetap saja mataku sisakan lengas.

Kupikir engkau sembunyi di balik hingar. Piranti suara kubuat menggelegar. Ah, malah kepalaku yang bertambah lengar.

Embun di kaca jendela telah pupus bermenit yang lalu. Kuhembus nafas embunkan yang baru. Lalu kutulis namamu di situ.

Read Full Post »

Mentawai, Lalu Merapi

Malam terulur panjang, sepanjang ngilu dan cemas. Hujan asamkan luka, dari hulu di dada, merembes hingga kornea mata.

Sontak tak ada lagi gelak, di bumi koyak dan retak. Hati melepuh di sela kaki tergupuh. Ada juga rintih di sela kaki tertatih.

Ada bibir bergetar lafadzkan do’a dari dada yang memar. Ada tangan menggigil, menggambar lidi menghitung siapa pergi.

Kepadamu yang dicekam duka nestapa, di pelataran tanpa tenda. Kami hanya bisa turut menderas air mata, dan mendaras doa-doa.

Read Full Post »

Pelangi di Langit Merapi

Apakah PELANGI? Ia, jutaan larik do’a terpatri, terpancang menembus bumi, melengkung di langit Merapi. Tuhan, lindungi kami.

Apakah PELANGI? Ia, warna-warni cemas terbersit, jutaan benang tanya terpilin, terbentang menuju Mentawai. Tuhan, tautkanlah hati kami.

Wahai PELANGI, itukah pesan-Nya mengetuk nyeri, lewat gejolak di perut bumi? Gentar dinding hati kami. Goyah jiwa rapuh kami. Sabda-Nya, gempa dada dan jantung kami.

Read Full Post »

Maka Puisi

SAAT udara hampir menyerah pada gemuruh mesin, maka puisi menjadi semacam teman bermain, atau taman yang indahnya bukan main.

SAAT ada mimpi yang hilang di dada kita, maka puisi bisa menjadi semacam keranda, tempat kematian diusung dan diberi tanda.

SAAT air mata menghujani dengan seribu nyeri, lalu pergi meninggalkan sebentuk perih, maka puisi mendatangi tak kenal jerih.

Read Full Post »

Cinta tak mengenal entah, berapa pagi harus kudaki, senja harus kusinggah, sebelum tiba di muara hatimu.

Aku ranting. Engkau rembulan. Cinta kadang sepintas duga. Lihat, katak mengira kita dalam cengkerama.

Engkau, memberiku secawan kenangan. Aku, membubuhkan garam dan cuka di setiap mengingat pergimu.

Meski engkau tak kumiliki juga, aku yakin Tuhan menitipkanmu untuk kujaga, sedekat tulang rusuk di dada.

Read Full Post »

Senja ini kupilih diam, biar gemuruh dada ini lebih riuh kudengar. Tak mau bersuara, jika akhirnya kupergoki diriku sendirian.

Engkau pun heninglah, biar kudengar detak jantungmu. Aku, ingin tuliskan partiturnya di atas selembar senyap.

Bukalah matamu, lihat semesta melambai. Jangan kaupejam, jika lambaian perpisahankulah yg sering kautemui.

Menangislah, jika karenanya larut dukamu. Biarkan air matamu menggenang, menjelma telaga. Lalu kita, berenang suka cita.

Tersenyumlah, pudarkan awan kelabu di dadamu. Tertawalah, biar cakrawala senja memunculkan bianglala, berpendar ke penjuru jiwa.

Read Full Post »

Namamu mengusik spasi, di antara dua kesunyian: kelahiran dan kematianku.

Mengeja namamu, seperti menghirup udara. Ada degup saat tergesa, ada getar saat perlahan, sesak menyiksa saat mencoba lupa.

Mengeja namamu, seperti memberi suaka seluruh kenangan tentangmu, menjaganya dari lupa, dan segala usik pengganggu.

Mengeja namamu, seperti bocah belajar alif ba ta. Terbata-bata. Sepenuh rasa. Tolong, jauhkan aku dari khatam.

Menghapus namamu dari dinding hatiku, seperti angin meniup awan di atas langitku.

Menghapus namamu, seperti membuang tanggul penahan luka di dada. Duka menderas, perih membanjir. Aku tergenang.

Mengusir namamu dari ruang hatiku, seperti menepis gerimis dengan jari teriris. Hanya menambah perih.

Menghindari namamu hadir di garis waktuku, seperti bumi lari sembunyi dari matahari.

Read Full Post »

Potretmu

Di setiap duabelas putaran rembulan, matahari terus berganti. Langkahku belum berhenti, menata jejak kaki, memaknai hari-hari.

Di antara langkah kakiku, kadang sengaja kutemui kamu di situ. Dan di bening bola matamu, semesta berkaca tak jemu, lalu titipkan rindu.

Acapkali di bening bola matamu, kupergoki diriku termangu, sepi membeku. Hingga kuseret langkahku berlalu menjauh, dari potretmu.

Read Full Post »

Teringat Kamu

DI JENDELA,
ada secarik langit senja, murung, lesu. Luntur oleh cucuran waktu, lusuh, kelabu. Lalu aku, teringat kamu.

DI HALAMAN,
gerimis bergumam di tengah kabut, menjejak ragu, dengan kaki-kaki kecilnya, malu-malu. Ah, seperti kamu.

DI BERANDA,
senyap merayap bersama gelap, mengejar pekat. Di atas tingkap, gigil mengintai. Aku, makin teringat kamu.

Read Full Post »

Aku ingin mencintai dia. Tuhan, pertemukan denganku: cinta, dan dia.

Tapi jika, aku hanya akan menyakitinya, Tuhan, jangan hadirkan ia, hanya karena do’aku.

Lalu, jika memang ia, boleh kumiliki, sedang hadirnya, hanya di dalam mimpi, Tuhan, mengapa tak Kautidurkan aku sepanjang hari?

Read Full Post »

Bagaimana Bisa?

Bagaimana bisa aku terlelap, jika mengenangmu selalu membuat mata hatiku terbuka dan ragaku terjaga?

Bagaimana bisa kutulis 1 kalimat benci, jika mengenangmu selalu membuat jemariku menulis 1001 kalimat cinta?

Bagaimana bisa kuberpaling dari dirimu, jika mengenangmu selalu membuat mataku seperti melihat wajahmu di segala arah?

Bagaimana bisa kuhentikan laju batinku, jika mengenangmu selalu membuat arus deras di sekelilingku, menuju muaramu.

Bagaimana bisa menghilangkanmu dari garis waktuku, jika masa lalu selalu melipat menemuiku, mengincar setiap hari-hariku.

Lalu, bagaimana bisa aku berhenti mengenangmu, dan menghilangkanmu dari garis waktuku, jika karenanya senyumku usai, nafasku lunglai, dan air mataku berderai.

*untuk: @kumabal
Bagaimana bisa aku menolak, jika hak tolak bukan milikku, dan kata ‘tolak’ untukmu bukanlah bagian dari ‘diksi’-ku.

Read Full Post »

(1)
Kita, begitu katamu,
seperti pagi berlinang embun.
Semua yang kita himpun semalam,
terpantul dalam setiap kerlip beningnya.

(2)
Kita, begitu katamu,
serupa bau tanah basah selepas gerimis pagi.
Sisa getir semalam,
saling telisik di ventilasi.

(3)
Kita, begitu katamu,
ibarat sepasang pipit piatu.
Kepak sayap dan cicit kita membuat matahari mengerjap,
cemburu ia.

(4)
Kita, itu pula katamu,
semacam geliat cemas bersembunyi di fajar yang emas,
berharap jarak dan waktu melemas.

(5)
Kita, begitulah katamu,
pada akhirnya hanyalah pagi yang mendadak senyap,
sembunyi sekejap di balik sajak.

sisipan:
respon #tentangmu | @andaridwi:
Pada angin di tengah ilalang kau berdendang.
Bersahutan pada pucuknya yang mengambang.
Meski bukan untukku kau bercerita tentang.

Read Full Post »

Di Balik USIA

USIA seperti memberi kita roda.
berkeliling ke masa lalu.
kekalkan gumpalan rindu.
cicipi derai di setiap helai.

USIA seperti memberi kita kunci.
temui wajah mantan kekasih.
lewat denting, syair, & wangi
yang pernah kita semai.

USIA seperti memberi kita pintu.
melongok ke masa lalu.
napak tilas di lorong waktu.
tempat kita pahatkan rindu.

USIA seperti memberi kita tali.
pengikat janji yang kita beri.
pengingat mimpi dan revolusi
yang kita singgahi.

USIA, memberi kita setumpuk kartu.
peran apa kita pilih kembali.
sederhana,
serba raja,
serba bisa,
serba biasa?

Read Full Post »

KITA

(1)
KITA melaju di rintik gerimis,
di sisa musim yang basah.
udara berombak memberi gema.
memandu langkah mengitari sunyi.

(2)
KITA yang terlelap dalam kantuk.
dipeluk lentik jemari usia.
perlahan mengering dan keriput.
lalu ia, mencekik kita.

(3)
KITA terkadang amat pelupa.
lupa kata lupa bilangan.
lupa pula mengisi hidangan.
ah, mari sejenak mengukur timbangan.

(4)
KITA yang teramat rapuh,
mestinya bisa saling rengkuh.
luka membalut raga,
saling jaga hingga kepala.
bukan saling dera.

(5)
KITA hanyalah seonggok debu.
anak sejarah impian selaksa.
lalu amarah membakar, menyerbu.
sesaklah jelaga tersisa, terluka.

Read Full Post »

In Absensia

Hadirmu meriuhkanku,
menelingkup ruang batinku,
penuhi palung-palung rinduku,
tarik darahku satu satu.

Alismu lengkung gendewa,
busur penyeimbang,
pengarah ke pusat jelita.

Bulu matamu,
punggawa lembut tersusun,
berbaris rapi menjaga bening
teduh tatapmu.

Heningmu menyentakkanku,
luruhkan segenap ilusi,
singkapkan tabir puisi,
lelapkanku dalam sepi.

Read Full Post »

Perjalanan

(1)
Dari puncak malam tertinggi,
hingga terik siang matahari,
kami langkahkan kaki,
dari hari ke hari,
dari hati ke hati.

(2)
Sejak pagi mengupas matahari,
siang memahat kulit ari,
hingga senja melipat hari,
kami tak lelah mengasah mata hati.

(3)
Kadang kami dapati secarik sepi,
kadang kami temui sepiring benci.
Semua yang kami singgahi,
tak ada satu yang abadi.

Read Full Post »

Jejak

JENDELA ini kecil saja.
Tapi dari sinilah larik cahaya kueja,
lewat garis ventilasi.
Berapa matahari harus kusapa
sebelum teduh matamu?

PINTU ini tak muda lagi.
Tapi ia terbukti kokoh menahan
sejuta gegas, selaksa lekas.
Adakah sempat engkau melewatinya?

BERANDA ini kini senyap.
Tapi ia telah mencatat jutaan basa-basi,
dari yang fiksi hingga diksi.
Maukah engkau kubacakan puisi?

Read Full Post »

Inderaku

BIBIR ini?
Terlalu anyir
oleh syair getir
yang nyinyir,
terlalu basah
oleh kunyah serapah,
terlalu sepat
mengeja dusta.

HIDUNG ini?
Jauh lebih tajam
membaui isi loyang
kecil tersembunyi,
ketimbang menangkap
harum wangi
lautan ayat-Mu.

LIDAH ini?
Fasih dan latah
merapal selaksa aksara,
mengepul siul seribu lagu,
lalu kelu saat bertemu
satu saja nama-Mu.

Read Full Post »

Dejavu

(1)
Aku telisik
di setiap helai gerimis,
aku singkap
di setiap hela udara,
barangkali rindu
kauselipkan buatku.

(2)
Aku mengurai
setiap baris amsal,
aku mengeja
setiap lembar peristiwa,
berharap senyum
kausisipkan buatku.

(3)
Aku mengais
setiap butir kata,
aku menggali
di setiap jengkal kalimat,
barangkali jejakmu
tertanam di sana.

Read Full Post »

Seperti Sungai

Seperti SUNGAI,
arusmu menggerus
segala peristiwa,
mengajaknya ke muara.
Meski kau tahu,
mereka bukanlah
sanak saudara.

Seperti SUNGAI,
sengaja kau serak
selaksa jejak,
di setiap kelok jarak.
Meski kau tahu,
mereka takkan membawamu
pulang ke barak.

Seperti SUNGAI,
tak lelah kau mengalir
di sepanjang takdir,
hulu hingga ke hilir.
Meski kau tahu,
tak semua khawatir
bisa kauusir.

Read Full Post »

@agnasky:

Di manakah kau sembunyikan luka, di sedu sedanmu, atau di derai gelakmu?

@hotfashionholic:

Luka? Kusimpan erat di bawah bantalku. Kubawa mimpi setiap malamnya.

@agnasky:

Lalu di manakah kau hanyutkan perih, di rinai hujan, ataukah di mimpi-mimpi malam?

@hotfashionholic:

Perih? Kutiup jauh bersama guguran maple yang tersia musim lalu. Kukubur bersama timbunan mantel di musim panas.

@agnasky:

Lantas, di manakah pula kau telikung ngilu, di lidah kelu, ataukah di bincang bisu?

@hotfashionholic:

Lengar? Kusamarkan di gerimis sore tadi. Kubekukan di bawah salju yang turun awal pagi.

Read Full Post »

Terkadang Lupa

(1)
TERKADANG kami lupa, wangi udara yang kami hirup entah digunakan untuk apa, detak jantung ini kami tasbihkan pada siapa.

(2)
TERKADANG kami lupa, tak ada sebenar-benar tempat ungsikan jiwa, sedang batin ini terlampau mudah terlena kedipan nakal dunia.

(3)
HINGGA langit habis air mata, bumi lelah mengguncang dada, ah…masih saja kami lupa, sibuk dengan mantra penjinak dunia.

Read Full Post »

Ajari Kami

AJARI kami matahari,
keteguhan menjaga cahaya.
Kami yang tak pernah malu
berdamai dengan lupa,
bersahabat dengan alpa.

AJARI kami langit,
kesabaran didera cuaca.
Kami yang mudah lelah
digulung cerca,
diterjang duka nestapa.

AJARI kami malam,
ketabahan menundukkan siang.
Kami yang tak berdaya
menaklukkan murka di dada,
menidurkan bala angkara.

Read Full Post »

Itu, Kemarin!

KEMARIN aku kokoh tangkai,
sedang kamu gemulai kelopak.
Kita mekar di jambangan pengantin.
Kini meringkuk layu,
saling memeluk.

KEMARIN aku segumpal tepung,
sedang kamu sejumput rempah.
Kita meriah di altar hidangan.
Kini membusuk bisu,
saling menumpuk.

KEMARIN aku segores luka,
sedang kamu air mata.
Kita berdansa,
terjatuh satu dua.
Kini perlahan mengering,
sembuh beriring.

Read Full Post »

(1)
Kami hanya mampu melirik-lirik,
ayat yang Engkau kirim berlarik-larik,
lewat udara gemerisik,
lewat air gemericik.

(2)
Kami yang lemah menarik benang puitik,
hati gelap karena syirik.
Lalai kami menelisik,
mana hitam putih burik.

(3)
Kami yang resah hadapkan wajah,
timur barat dan atas bawah.
Padahal bumi melirik
dari setiap sisi,
dunia menatap
dari segenap arah.

(4)
Kami yang gundah palingkan hati,
dunia riil ataukah mimpi.
Padahal seluruh alam
milik Ilahi,
pada-Nya pula
kita kembali.

Read Full Post »

Saksi

KAMI kuping,
kanan dan kiri.
Tak bisa bohongi
kepala sendiri.
Kami menangkap
bisik rindumu
di lirih angin.

KAMI mata,
berbola dua.
Tak bisa pungkiri
yang kami baca.
Kami mengeja rindu
yang kautulis
di lembar senja.

KAMI air mata,
terjatuh satu dua.
Sisa tetesan luka di dada,
saat serpihan rindu
menggores tanpa sengaja.

Read Full Post »

KADANG kami kurang teliti.
Itu karena kami sibuk dengan peniti,
penahan sobek dan bolong hati kami di sana sini.

KADANG kami seperti pikun.
Itu karena kami lelah menenun,
merangkai do’a agar mata hati kami tak mudah rabun.

KADANG kami terlihat lusuh.
Itu karena kami sibuk mengayuh,
hindari keluh biar menjauh,
sblm bumi mulai melepuh.

Read Full Post »

Tumbuh Menahun

Guguran angka dari kalender tahun,
suka duka pun menumpuk tertimbun,
tapi itulah yang membuatmu tumbuh subur menahun.

Read Full Post »

Lihat.
Tuhan mengirim secawan senja.
Mari hirup beningnya.
Sisakan suka dan luka.
Biarkan mengendap.
Saling mendekap.

Read Full Post »

AH, CINTA!

(1)
AH, CINTA? Ibu kami yang mengandung, lalu kami dilahirkan kidung. Bapa kami yang begadang, lalu kami dibesarkan dendang.

(2)
AH, CINTA? Ia tak pernah mau berhenti, hanya melambat sesekali. Tak sekali pun ia mati, meski lahir berkali-kali.

(3)
AH, CINTA? Ibu kami membuat rajahnya di pusar kami. Setiap kali kami ingkari, seutas tali seperti menarik kami kembali.

(4)
AH, CINTA? Bapa mengajar kami menapak, setapak demi setapak. Kami melangkah terjungkal2, hingga bumi terpingkal2.

(5)
AH, CINTA.. Sekarang kami membalas keduanya dgn lengos wajah dan gegas langkah. Ampunkan kami ibu.. Maafkan kami bapa..

Read Full Post »

Sanktuari

(1)
SENJA yang resah, di musim basah. Kunyalakan hati, demi secawan hangat ingatan. Apa daya, rinduku hangus terbakar. #chr7 #senja

(2)
SENJA, engkaulah sanktuari, tempat mengungsi segala janji yg belum sempat ditepati, bermukim sementara hingga esok pagi. #senja

Read Full Post »

PAGI adalah saatnya pergantian adegan, setelah semalam lelap menyekap kesadaran & gelap sembunyikan matahari.
#ciremai

Gelap-senyap-lelap Vs terang-gegap-terjaga. Perang abadi. Tak mau kutahu siapa yang unggul. Toh, selalu ada kamu di kedua kubu.
#uletbulu

Read Full Post »

Gubuk Maya

(1)
MAMPIRLAH meski sebentar. Di gubuk kami, selembar tikar kalimat bisa membawamu mengangkasa di atas bermilyar frasa yang membakar.

(2)
BERBARINGLAH di dipan kami. Barangkali kau rindu pijat refleksi, jemari puisi patah hati, hingga fiksi ledakan galaksi.

(3)
BACALAH kami meski se’alif. Di negeri kami, satu puisi menjadi hiperlink ke belahan dunia mana hatimu hendak berpaling.

Read Full Post »

Bersimpuh Aku…

BERSIMPUH, beralas bumi yg rapuh. Bumi yang tak kenal keluh, meski pelit kulekatkan kening di antara telapak kaki yang angkuh.

Read Full Post »

O, Anak…

O, anak. Ingatlah saat2, ketika bumi mengambil rahim ibumu. Erang kesakitan mencakar langit, menggapai2 selembar nafasmu.

O, anak. Sesekali tengoklah jantung ibumu yang mulai lelah memompakan do’a buatmu. Kulit yang mengeriput membesarkanmu.

O, anak. Tataplah lekat kedua mata ibumu, yang kian mengering terhisap keluhmu. Atau rambutnya yang memudar karena dukamu.

O, anak. Biarkan keringatmu menguap bersama air mata ibumu. Kristalkan cintamu meski sebutir, lalu kalungkan di dahinya.

O, anak. Usaplah kulit bapakmu hangus perunggu, dan tulangnya karat tembaga. Petiklah mimpimu buatnya di penghujung senja.

O, anak. Manis air susu ibumu, pahit getir keringat bapakmu, & air mata keduanya. Jadikan tangga menggapai pintu langit-Nya.

O, anak. Sempatkanlah meski sejenak. Bisikkan lembut di kedua telinga mereka, cintamu tak pernah sirna meski sesaat.

Read Full Post »

Dari Sinilah

DARI sinilah kami belajar bahasa. Dari gemerisik daun-daun, patah dahan dan ranting, serta hela nafas udara.

DARI sinilah kami belajar membaca, mengeja larik dan gurat cahaya, mengintip di sela cemara, sejak pagi hingga senja.

DARI sinilah kami belajar berhitung, berapa tandan kelapa tergantung, adakah kami masih beruntung.

Read Full Post »

Belantara Maya

Huruf demi huruf,
bit demi bit,
menembus pekik sepi belantara maya.
Setiap jeda adalah veda.
Menuju satu titik, hatimu.

Padanya setiap klik,
adalah ketukan palu gaib,
terpahat larik puisi,
di prasasti berbobot nisbi,
tapi kaya akan isi.

Masih juga huruf kupahat.
Peduli bandwitch kadang mencegat,
kapasitas memadat rapat.
Aku belumlah mau rehat.

Bumi masih saja bicara.
Tentang perkamen purbakala,
hingga fragmen sangkakala.
Kuintip dari lubang cahaya,
jejaring maya.

Read Full Post »

rona pipimu

Pelangi tipis

di riap kabut senja

tersipu malu.

Mengintip malam

di balik cakrawala

merah merona.

Read Full Post »