Feeds:
Posts
Comments

MATAMU, Peluru!

AKU. sepucuk senapan tanpa peluru. lubang besar bersarang di dadaku sejak engkau meledak, melesat meninggalkanku.

PERGIMU menyulut sumbu. moncong sepi menghantui hari-hariku. tak cukupkah kau berondong aku dengan diammu?

ADA yang lebih kutakuti ketimbang senapan api – sepi yang kauledakkan, padaku sunyi kaualamatkan.

ENGKAU pemburu, seribu pesonamu adalah peluru. aku tersesat di hutan ragu, diburu waktu – tolong, bunuh saja rinduku!

——-

thanks to @hotfashionholic yang sudah menembakkan sajak berikut :

“Matamu peluru. Dadaku sasaran bisu. Tutur katamu mesiu. Hatiku tumbang membiru.”

Duduk aku disudut keramaian. Ditemani senja yang kelabu. Banyak manusia bicarakan cerita. Ditengah kepulan asap tembakau.

Aku merenung ditemani segelas kopi restoran. Menikmati perih dihari. Entah berapa batang sudah tembakau yang kubakar. Sekedar ungkapan hati yang gusar.

Wanita itu kembali membumbung di angan. Kesempurnaannya yang tak terbantahkan. Oh aku kembali merindu.

Dia yang tak mungkin lagi kumiliki. Dia yang relakan hatinya diikat lelaki selain aku. Dia yang bersuka di hari minggu.

Asa kembali membara. Tapi hanya sisakan nelangsa. Berjelaga aku dalam duka. Bayangkan ia yang kupuja.

Di ujung senja ini aku tertegun. Habiskan kopi yang tersaji. Mendung penuhi cakrawala. Seakan mengerti hati luka.

Mungkin inilah sakit terbaikku. Perlahan terdengar adzan Maghrib menggema. Saatnya aku berlalu, dan tinggalkan semua kenangan itu. Hanya satu tanyaku. Sanggupkah aku melakukan itu?

Mendung Pagi

Aku pun masih terduduk di sini, menatap langit tak bertepi.
Ringkih tubuh termakan usia, meski bahagia belum menjelma.
Ratusan, ribuan, jutaan doa sudah terlontar, menggelinding saat sedang menghadapNya.
Tapi hanya ini yang kudapat, termenung di sunyi yang tak pasti.

Adakah keadilan di sini? Ataukah ada jalan yang belum kulalui?
Berceruk tanya dipalung hati, mengais sisasisa jawabNya.
Manusia memang tak sempurna, dan aku salah satunya.
Salahkah bila aku meminta? Mengharap untuk kebaikan bersama.
Bisu, sepi seakan tidak berisi.
Kembali aku bersunyi dibawah kelabu pagi.

Peluh berjelaga.
Sepi meronta.
Ruang ini hampa, tanpa sesiapa.
Hanya aku, nyawa, dan sekumpulan rindu yang luka.
Gemeletak bunyi hujan mulai menyapa.
Kian riuhkan isi kepala.
Saat ini senja.
Tapi langit tak jingga.
Sebab hujan sedang berkuasa.
Terdengar para katak berpesta.
Di sela lirih suara rinduku yang kian terluka.

Senja, cinta, kenangan lama. Semua hanya terbitkan luka. Curahkan cahaya duka di segenap daratan rasa.
Telah aku selami ribuan senja, coba raih indah cakrawala, berharap cinta tersembunyi di baliknya. Sia-sia!
Ribuan jam aku lewati berpayung senja. Lontarkan selaksa tanya padaNya. Di manakah cinta berada? Lelah aku menguntainya dari serpihan luka.

Angin senja, bola api di langit, sejumput harap manusia. Berdiam di tempat semula.
Dan aku memilih diam. Ketimbang terus berlari untuk sebuah kesia-siaan. Mungkin cinta hanya ada di puncak pegunungan. Atau dasar lautan.
Langkah waktu pun dihentikan air mata. Sejenak terdiam di sana. Beri waktu bagi anak manusia tuk berpikir. Bahwa cinta ialah sia-sia.

Pernah aku memendam harap akan cinta dalam kendi kehidupanku. Sebelum ia tertimbun debu dan pecah hingga tak berbentuk.
Aku ingin menangis di pangku Bunda, bercerita segala di hadapan Ayah. Bertanya bagaimana mereka bisa terpeluk cinta sedang aku tidak.
Aku sering mengucap sia-sia pada perjalananku. Karena sia-sia. Ya, sia-sia!! Hanya doa yang terlepas dari sia-sia. Sebab kuasaNya.

Daundaun musim kering, ajaklah aku berdansa! Kita kan menari di bawah permadani cinta. Lupakan cinta, lupakan kenangan lama. Aku terluka!!
Angin semilir di beranda, nyanyikanlah sebuah lagu tanpa cinta. Lalu kecup aku, hisap kesedihan dalam mataku. Lekas!! Aku lelah menahannya.

Pagi yang sunyi di hari yang sepi…
Degup jantung, dengung lalat juga gumam lirih selokan keruh
Menelan timbunan sampah, tanpa sanggup mengeluh
Langit yang sepi, menyembunyikan matahari
Di kepala kita, mendung menggayuti cemas mimpi-mimpi
Menatap putaran jarum detik arloji
Merenungi kesia-siaan hari
Memeluk gelisah, berkelahi dengan amarah
Hidup, ternyata harus pandai memilah janji
Hidup, hanya untuk mereka yang sudah khatam menjilat ludah sendiri
Ah, ternyata -mungkin- ada yang luput dahulu kita pelajari

Pagi yang sunyi di hari yang sepi…
Terpejam membayangkan kerlip kunang-kunang
Mengenang laron semalam yang selalu kembali ke pijar api, menjemput mati
Menatap sisa purnama yang mengigil tanpa teman
Memaki matahari yang terlalu cepat datang
Seruput kopi yang terasa getir
Dan sepi, perlahan merobek-robek akal pikir

Pagi yang sunyi di hari yang sepi
tanpa sadar, aku menggumamkan sajak-sajak cinta
Pagi yang sunyi di hari yang sepi
tanpa suara, aku meneriakkan Indonesia Raya…

Kelokan-kelokan sepanjang perjalanan pulang, memaksa menggali-gali kenang.
Tentang berapa banyak nama sahabat yang masih kita ingat

Bunga-bunga terompet yang memagari rumah-rumah kayu, menebarkan aroma yang pernah kita kenali teramat akrab.
Rindu, perlahan sembab..

Kita yang dibesarkan aroma tanah dan humus basah, disihir bising kota, mendadak lupa sejarah.
Tentang pekarangan tempat bermain kelereng dan berlari menarik layangan.

Humut kelapa yang kita sesap bersama.
Juga batang bambu dan kertas basah yang dijadikan peluru.
Menahan takut, kita berlarian sembunyi di bayangan pinus.

Melarikan duka pada pekat asap rokok di temaram lampu disko, kita menangisi riam sungai dan kicauan prenjak di dedahan pohon nangka, yang tak ditemukan di trotoar jalan..
Gelak tawa kemarin, hanyalah bayangan suram yang dipantulkan botol-botol minuman.

Kampung halaman, kawan, adalah pekarangan tanah dan pagar rumah bunga-bunga terompet, tempat rindu senantiasa disiram.

Kampung halaman, kawan, adalah tempat usia yang berderet-deret berbanjar… disemayamkan.

Di televisi kita saksikan diri sendiri dipukuli waktu.
Cita-cita hanya pemanis isi buku korespondensi.
Tanpa kesan dan pesan ditorehkan.

Mereka yang diasingkan hari-hari. Debu jalan dan trotoar kerontang.
Ditemani siapa? Tak ada.
Dia bukan berita utama.
Dikalahkan selingkuh selebriti.

Berita yang dibawakan anchor jelita pagi ini, bergema, memantul-mantul di kaca.
Bahkan aroma kopi menampari muka kita yang buruk rupa..

Kita larikan masa depan.
Mengadu pada sinetron tentang bidadari dan seorang jahanam.
Larut tanpa sadar.
Seketika.
Kita : di dalamnya.

Ayo telanjang! Buka baju lempar celana!
Hah?! Malu katamu??
Sedang kita tak pernah merasa itu, saat seolah menolak suap yang kita sebut ‘RE JE KI”
Ayo menyelam! Menyelam ke lubuk hati!

Coba renangi sampai ke hulu
Dan lihat kita yang kanak-kanak melompat dari jembatan bambu
Tertawa kita saling sembur
Sampai akhirnya mimpi tenggelam ke dasar batu…

Ayo seberangi sampai ke hilir
Dan lihat kita yang dewasa tak bisa bedakan mana hemat mana kikir
Tersenyum ramah saling berpura
Sampai akhirnya tawa kanak-kanak kita menghilang…
Terseret sampai muara…

Dalam pasi bulan musim semi
Menggulita hati tanpa pelita
Riuh rumpun-rumpun mawar mengonak dalam sunyi Luka hati
Saksikanlah. Rasa-rasa yang meliar, menggurita dalam malam-malam sepi
Seperti senandung seruling kesepian
Serenade derita Dari bibir yang jauh Dari mulia
Harapan-harapan menyepi setiap malam. Kekalahan mengendap dalam mimpi lalu menjelma hujan amarah putus Asa esok pagi. Akankah?
Dan engkau, Guntur yang teredam dalam diam.
Pasi sepucat bulan musim semi
Kau Pulas duka dalam hatiku yang tak kunjung mengusirmu dari mataku
Kau terbitkan gerimis tanpa jeda

Andai jarak ini tiada
Tentunya aku di pelukmu, bermanja
Mencium bibirmu tanpa jeda

Andai samudera ini tiada
Kau pasti datang membawakan bunga
Dan aku, tak sabar menantimu ditepi jendela

Andai batas ini tiada
Kita tak perlu berahasia
Dan kisah cinta kita, tak sebatas goresan pena

Jika engkau adalah senja, akulah gadis yang tergesa pulang agar bisa duduk di balkon yang tersiram gradasi jinggamu.

Jika engkau adalah airmata, akulah surat cinta yang kautetesi hingga menjadikanmu nyata.

Jika engkau adalah langit, akulah ikan terbang yang kerap meninggalkan rumah untuk mencumbumu.

Dan jika aku mawar yang kaupetik, gantunglah aku terbalik agar aroma kasihku senantiasa dapat terbetik.

PADA kopi secawan, apa yang bisa kuharap, kawan? Pada pekatnya, aku terbiasa memperdaya rasa penat, berharap ia tersesat.

LALU di televisi, apa yang aku cari? Jika hanya beroleh nyeri, baiknya kutinggal pergi. Biarlah ia, asik menghibur diri sendiri.

Lengang

Kabut langit putih samar,
bintang lelah kemana bersandar,
bulan murung enggan bersinar,
siur daun layu memudar

Lampu jalan buta sebelah,
tak ada suara pecah,
ekor anjing diam resah,
hanya daun dan angin yang merepah

Kaca jendela hitam berdebu,
samar muncul bayangan semu,
hati resah terasa jemu,
laik rindu tak jua bertemu

Menarik waktu silam,
memintal dalam bulat pualam,
di kanopi yang terjepit semalam,
kita berdua berteman temaram

Meminta suatu khayal,
lari mundur sepasang sandal,
kala suaramu menjadi bantal,
aku genggam sisi kidal

Surat Dari Beranda

Kupikir ini hanya sebuah keinginan sederhana
Bersamamu nanti menimang cucu
dan kita tergelak di kursi rotan,
di beranda

dan saat iqomah maghrib di pengeras suara
Kita sucikan muka segera
Berdirilah di belakangku
Cukup sehasta

Sesudahnya, biarkan cucu kita memilih kartun kesayangannya.
Kau di sebelahku saja.
Mengelus ubanku di kepala

Itu cukup sederhana kurasa
Aku tak berani bermimpi lebih tinggi lagi
Dekap kepalaku di dadamu
Hingga terkantuk

Dan sebelum mimpi merenggut
Kubisikkan kata yang ku takut tak sempat akan sampai ke fajar
“Temani aku saat ajal menjemput”

Dan di pagi, saat diberi satu hari lagi,
Bangunkan aku dengan cangkir kopi yang biasa
Dengan senyummu mengerak di ampasnya…

Dan kembali di kursi rotan di beranda di suatu senja yang entah.
Kutitipkan semua.
Tentang bahagia tentang duka…

Doa Subuh

Wahai Engkau yang membuat mereka berkicau di pagi hari.

Adakah mereka sedang bercerita tentang sudut-sudut bumi yang telah mereka telaahi?

Tentang indahnya bongkahan-bongkahan es raksasa menjulang tinggi hingga patung Liberty simbol kebebasan sebuah negeri.

Tentang kawah warna warni & hamparan kembang mewangi.

Tentang Aurora Borealis fenomena listrik & atmosfir yang magis.

Tentang setiap benda yang bernafas, bergerak, tertawa, menangis.

Hai burung, teruslah bernyanyi, sebab kalian lebih mengenal-Nya dibanding kami.

CINTA adalah…….

CINTA adalah,
kata yang tak juga mampu mengalir dari tangan penyair. Tercekik sedu sedan. Tertelan dada yang bimbang.

CINTA adalah,
keluh yang enyah malu-malu dari perih lukaku, gusar yang diam-diam pergi dari memar kecewaku.

CINTA adalah,
gelap yang tak mampu kaubaca, diam yang tak sanggup kaueja. Lalu kaunyalakan kandil di dadamu, dengan detak jantungmu.

CINTA adalah,
sebentuk keranda bagi luka, untuk dikuburkan ke dalam lupa, lalu diberi senyum sebagai nisan penanda.

CINTA adalah,
sunyi yang menempati pergimu, riuh yang menemani hadirmu.

CINTA adalah,
peluk yang membuatku terlelap, tepuk yang membuatku terjaga. Lalu di atas sajadah, kucari-cari pemiliknya.

CINTA adalah, restu yang tak lekang waktu, kerut yang tak juga menyerah. Hei, itu ibuku! Juga bapakku!

Adalah tetes-tetes peluh dari pundak-pundak kukuh
Walau tak kenal keluh
Saat asa akan panen kian luruh
Di bantaran irigasi, hanya ada genangan air mata
…mengeruh

Tahukah kau janji?
Benih yang diharap jadi bulir padi
Tak mampu sekedar tepati separuh saja,
Selalu paceklik bersiap mengintai
….khianati

Di persemaian rindu
Setia di dangau
…termangu
Menanti pupuk dan ladang digaru
Abaikan hama-hama caci
Hei, untuk apa mengerdilkan benih?
Ah, itukah engkau yang berbisik, Dewi Sri?

Di tengah gundah isak sawah
Sudah! luruskan saja alur pematang
Cabuti gulma-gulma dan entah apa yang kotori berkah-Nya
Untuk nanti di ujung senja
Bersama kita basuh kaki, bersuci
…akhiri hari

*untuk semua petani yang (seharusnya) dimuliakan Indonesia Raya*

Kita berjalan saat hujan menyalak, kaburkan cerah di langit bumi. Gemuruh guntur silih berganti menyanyi, lagukan riuh di bagian hari.

Hingga malam terjejak, kita saling mendekap di sebuah tempat yang harusnya senyap. Namun kita enggan bersunyi, lalu bicara, tertawa tanpa hiraukan aturan yang ada.

Aku coba suratkan hasrat lewat jemari, lewat tatap mata, lewat bisik-bisik di tengah manusia yang seakan tanpa suara.

Kita saling genggam, tatap menatap, bersuara lalu bicara, bumbungkan mesra ke puncaknya. Sesekali sentuh-sentuh asmara bermain manja. Menggeliat ketika gelap-gelap buatan tersirat.

Hingga kurasa ambigu tak lagi kekal, aku coba ciptakan pasti dalam akal. Sikapmu kuambil sebagai dasar, senyum dan tatap matamu jadi pondasi besar. Bahwa kita sedang bernaung di bawah langit-langit cinta.

Rinduku Terluka

Pada bintang malam aku menunduk.

Merangkak tertatih di bawah tatap bulan.

Malam ini tak hamparkan kasih.

Rinduku tak jua terbaca.

Malam terlihat jumawa.

Tertawakan aku yang dipenjara rasa.

Rindu menguasa dalam relung jiwa.

Nelangsa bersenandung hingga gema.

Rinduku terluka.

Kegelisahan Rindu

Aku dirudung kegelisahan.

Semacam terdiam di tepian tebing khayalan.

Aku nanti sebuah kehadiran.

Dia, wanita yang jadi pujaan.

Aku tunggu sapaan darinya, lalu melarut dalam suatu pembicaraan.

Saat malam tak lagi pendarkan cahaya yang menyilaukan.

Hingga hanyut aku dalam lamunan, terbawa arus ketidakpastian.

Sungguh, alur rindu ini sangat tidak membahagiakan.

Juwita, aku ingin aksara kita berpelukan.

Sebagaimana hari-hari lalu yang menawan.

Datanglah, tuangkan air pembasuh rindu ke dalam cawan.

Biar kuhabiskan.

Karena rindu ini mulai memuakkan.

Ajari Aku, Ibu…

IBU.
ajari aku cara melukis cinta. seperti ketika engkau begitu ringan menggambar penat, hanya dengan segaris lengkung senyuman.

IBU.
ajari aku cara mengusir nyeri. seperti ketika engkau terbiasa melarikan sepi ke halaman, berbekal sapu lidi di genggaman, tanpa sebaris gumaman.

IBU.
ajari aku cara membungkus gusar. seperti ketika tangis kanakku membangunkan tidur malammu dengan kasar, lalu kauelus perutku yang lapar, dengan segenap sabar.

IBU.
kadang kami sibuk bertikai, di depan api yang lalu terbengkalai. sedang engkau lebih suka sendiri tertegun, menjaga nyala di hatimu tetap unggun.

Kupelajari isyarat langit yang
semakin menghitam-membiru
Rembulan menyendiri
ditinggalkan sepi yang sunyi

: Apakah tadi malam
tangis tumpah di dadamu?

Telah kususuri jalan berkerikil
dari halaman rumahmu sampai sumur kering
tak lagi dipakai mandi
Orang tak lagi menyapa dengan senyum
Bibir mereka kebas dari derita
tak kunjung lepas

: Batu mana membuatmu terjatuh
dengan luka tak kunjung kering?

Aku gagal bermimpi dan mencatat
sebuah ingatan
Bola mata bulatmu
atau urai bulu-bulu halus kudukmu

: Di mana kau sembunyikan
lagu riang yang membuatmu menari
dalam hujan?

Bahuku tak sekuat jaring laba-laba
Dadaku hanya sebidang rindu memuja kepalamu
Aku tak mau
mengabadikan mendung di binar matamu
Cukuplah hanya aku

: Izinkan aku meminjam gelisahmu
malam ini saja

wahai cinta selembut awan.
hendak kemana engkau berjalan.
di negeri mana diam bertahan.
bolehkah aku turut bermalam?

engkau kandil yang kemerlap.
pelita di malam gelap.
dian penerang hati yang kalap.
pandu pengantar ke negeri lelap.

datanglah wahai engkau juwita.
di terik siang atau gulita.
usah bicara sepatah kata.
kita berbincang di tatap mata.

di bening matamu kekasih.
awan berarak berwarna putih.
camar mengepak menepis buih.
menghalau cemas mengusir pedih.

di derai rambutmu harum.
kau sembunyikan seribu senyum.
terjatuh aku di pipimu ranum.
dengan jantung seribu dentum.

It’s Here!

The fake snowflakes
White fluffy strings strung around around the trees

Of pine or plastic, their green is fantastic
Balls made of glass reflect smiles of glee

Candy canes that swirl as they twirl in your mouth.

Of Movies that give you the warm fuzzy feeling.
On love, miracles and that magical spirit.

A jolly old man with his cloudy white beard.
And Rudolph! Oh, Rudolph may I borrow your light?

Take a stroll to the mall for carols to color your year.
George Michael and Mariah just might visit your ear.

An excuse to kiss him here in my pocket, a mistletoe waits.
Or just talk as we silently watch out for reindeers galloping on rooftops.
Prancer, Vixen, Comet and.. darn, I forgot!

Milk and cookies for Santa and a shot of gin to keep him warm? Why not?

Christmas is here, dear. Ready or not…

itukah Engkau, Tuhanku?
di deretan religi toko buku
itukah Engkau, Tuhanku?
berdebu di sudut paling gelap hatiku

di antrian loket ibadah
mencariMu aku teriak mendesah
ini rayuku
terhadap jiwa resah
nyatanya dosa tak bisa ditipu

itukah Engkau Tuhanku?
disebut direbut-rebut..
itukah Engkau Tuhanku?
kuteriak “ini cinta!”
sambil tak henti merengut

di senja pengeras suara
berebut sebut diriMu
tersenyumkah Engkau pada cinta kami yang palsu,
pura-pura khusyu?

membatu.
kami mengaku si maha tahu
yakin surga-Mu dari telapak kaki
..tak jauh
nyata-nyata kami
bebal
sungguh..

Hari ini
Kulihat kalian di bangku-bangku rental
Memainkan apa yang entah saat aku di masa itu

Hari ini
Tak ada petak tanah kosong ditanami gelak tawa
Dan taburan benih keakraban saat aku di masa itu

Hari ini
Tak ada kaki-kaki berhujan di sore yang renyah
Memainkan galasin, aku di masa itu

Hari ini
Mimpi mengawang di awan hujan asam
Puluhan tahun lalu
Derai tawamu
Digadaikan waktu

Kuyup wajahku, bermandikan basah kabut cinta-Mu. Kujemput sisa tetesnya pada pucuk embun selepas subuh yang anggun.

Kubentangkan dada di pelataran tanpa tenda, membaca sajak-Nya yang tak kenal jeda, lesapkan luka di alam terbuka.

Ah, mata ini kian lamur, terhalang dosa yang menjamur, seiring rasa syukur yang semakin menipis di sisa umur.

Mata ini, kadang pula buram karena luka. Ah, akan terus kubasuh ia dengan udara pagi yang jernih, biar kian takdzim melihat ayat di tiap musim.

Tuhan. Bukan tubuh renta yang kutakutkan, bukan beban sarat yang kurisaukan, melainkan cinta-Mu yang kadangkala tak kuhiraukan.

Menjaring Bidadari

aku menjaring bidadari dalam hutan
yang berkelebat di antara pohon bayangan

dia turun dari beranda bianglala
melalui kristal kristal suara
menuju tanah basah
begitu anggun
di antara lipatan lipatan rahasia

wajahnya yang terbuat dari cahaya
bersenandung tentang negeri bernama utophia
orang orang yang dilahirkan
dari debu cinta
lalu hutanpun tersihir senyap
aku yang hampir terjerembab

aku menjaring bidadari dalam hutan perasaan
yang hampir membunuhku
dengan aura bersayap keemasan

kita tak pernah paham darimana datangnya awal mula
semesta yang menyusui kita
dengan payudara berbeda
jauh, dari rahim yang begitu jauh

kosmos bercerita tentang pertemuan mesra
kebetulan yang terencana
malu malu, kitapun bermain peran di dalamnya

cinta kita sedang berciuman di kamar itu
sementara di luar kita bercakap tentang cemburu
tentang jalan berbatu
tentang rumah yang akan kita tuju

lalu ketika aku telah menemukan sebungkus takdir
apakah kau harus menggigit leherku
untuk yang terakhir?

Aku Kehilangan Kata

Aku kehilangan kata.
Aksara tak kunjung menjelma.
Kidung waktu seperti hilang irama.

Penaku tak bertinta.
Mengering ia sekering-keringnya.
Puisi tak mampu tercipta.

Hariku hampa.
Hening-hening menjadi penguasa.
Kalimat cinta berubah makna.

Entah apa yang kurasa.
Kesucian pagi seakan tak lagi menggoda.
Jingga senja pun tidak lagi memesona.

Aku sedang berduka, aku terluka.
Misteri cinta hadirkan nelangsa.
Benamkan aku dalam air mata.

There’s you on my dashboard.
Crossing the road, waving from the bus stop.
Smiling face of the next driver

Seems like raining You last night. And you’re still linger on the grass.
Nothing You-er than the smell of the air today

Sun shines, slowly warm the earth
As slowly as your memories slip from my chest, gliding
Reminiscent of the kisses that long gone but never forgotten

I can still feel the rain long after it’s gone
The moist, the subtle sweetness of the wet soil and grasses
As I feel your kisses
Long, passionate and tender
And nothing You-er than this feelings

mengapa seekor rembulan tak boleh menapaki hutan?
bukankah dia telah begitu cemerlang
bertanduk bianglala
bersayap mata perawan

apa dia masih harus terpaku
pada telaga berwarna sejarah itu
tempat moyangnya memandikan perasaan
tempat dimasukkannya kaki tangan ke liang
agar tumbuh bayi bayi kejujuran

disini hanya ada rasa takut yang usang
tentang kitab kematian
yang kini berubah menjadi
sekumpulan ular ular resah
melilit lilit kaki bulan
menggigit separuh dari kehidupan

kita adalah nyanyian ghaib
yang menempel pada dinding dinding gua
lalu tebing yang curam
di sekitarnya sepi dan asing terdalam

moyang kita adalah kutub kutub dosa
yang tumbuh meranggas pada lafadz berbeda
jangan kau ucapkan kalimat itu
sekalipun jangan
Tuhan kita tak ingin dibanding bandingkan

lalu kita berhamburam di udara
menjadi kelelawar kelelawar tanpa kepala
menghapus riwayat panjang sendiri
lukisan cinta warna darah
hampir sempurna

Selarik Bait Hujan

Selarik bait hujan
Menetes dari pucuk daun cengkeh
Di sore gerimis
Dari langit abu berawan

Katamu
Airmata terlalu mudah disamarkan
Hingga mendengar rintihan hujan
Tak ada lagi getaran
..Dan isakan gerimis
Tak lagi suatu keanehan
Tak lagi lagu kerinduan
..Sungguh?

Sore ini
Saat selarik bait hujan
Menetes dari pucuk daun cengkeh
Kutebar benih pelangi
Tapi langit abu berawan
Tak sudi memberi kenangan
Dibaliknya, mentari rapat disembunyikan
Kita
Hanya berteman gigil
Dan geletar yang sepi
Di ujung tahun yang basah..

Menggenang *)

Ada air mata, menggenang di saku kemejamu
Setelah perjalanan panjang berliku
Yang tak pernah kau sesali
Walau sekali

Pernah kumengerjap manja,
lalu bertanya, “Apakah itu air mata, Ayah?”
Kau tersenyum, dan menjawab,
“Bukan, Sayang. Ini hanya sisa hujan,
yang Tuhan titipkan, semalaman.”

Lama baru kusadari,
kau hanya coba bentangkan pelangi
Di rumah kami

Tahukah engkau, Matahari, bahwa aku mencintaimu?

*) terinspirasi dari tulisan adik di http://akkaoffee.tumblr.com/post/1658685794/menggenang dengan judul yang sama

Life was never a bed of roses for her. Difficult birth defected her health, she was born with a very weak lungs and thin blood. She barely survived the birth ordeal. Yet, she live.

Childhood memories never paint sunshine upon her. She must receive multiple jabs every month in order to keep the disease at bay. To keep alive. She wasn’t come from a wealthy family. The ordeal is taking toll into her family. The father left, can’t bear the constant argument with her mom. Leaving her despair and alone, thriving to save her only child. To keep her alive. And yes, she live

Years later. She’s blossomed into a beautiful creature. Like butterfly emerged from her petite, sick coccoon. Yet, years of despair still silently written in her eyes. And her love is abundant to her mother, whom she adore as her sun, moon and star. She alone raised her to her point now. She alone rise from despair to dignity. She’s alone. Yet, she live

Not for long. The difficulty of life took her youth and spirit. Day by day her mother grow thin and sick. Like a faded roses on the dashboard. All her petals slowly fall. She already know, she was gonna die.

There’s no regret show on her eyes. No despair either. Only pride and joy. For she brought life to her beloved. Her sun, her moon her star, her daughter. And she whisper

” who want to live forever, my dear. For I am human. Blessed with little angel a long time ago. Fighting demons all my life. Faithful to what I believe, to what I thought is right. Forever I’ll be thankful for having you as my roses, my angel, my gift of joy from
God Almighty ”

The daughter replied, and whisper

” Dear Mother. My sun, my moon, my star. You are the ultimate gift from God. In your hand I blossom into a creature I’ve never thought I’d be. In your love I breathe, I eat, I walk. In your hand I dare to dream a life. Forever you’ll be in my heart, my mentor. My love for you as blossom
As wild roses blooming wild in the spring. I shall never forget you. Hold this hand. It’s raised by you. Sleep now. For your journey is over and mine has just begun. Go on, shine now. For I’ll be standing under the moonlight and pray for you. And the God Almighty may spare your sin and let me have your burden. Go on and fly…who want to live forever…. Nor should you…..”

Dua Sajadah

AKU masih ingat
kisah cinta rajutan benang-benang makna
pada kain yang telah kumal
atau tangisan di sudut muka yang mengekal

Ini bukan lagi soal
siapa yang paling siapa
bukan juga tentang
mengapa dan kita apa

Tak perlu takut
bukankah ia telah ada di aliran darah kita
bagian yang mustahil dipisahkan
seperti malam dan gulita

Aku tak peduli
jika bukan ke kiblat kita mengarah
mesjid-mesjid yang berkenang pada
sejarah manis dari guru-guru kita
walau nyata tak pernah mau bersahabat

Bukan, bukan itu

Ini cinta yang ingin kita gelar
jauh ke depan altar paling mulia
menggambar senyum bidadari kecil
teman manja saat mesra atau pahit yang getir

Bergeserlah sedikit ke belakangku
sedepa dari ujung telapak kakiku
jangan gugat aku dengan ketidaksetaraan
ini bukan lagi soal ketidakseimbangan

Bertahanlah sampai lafadzku tak lagi jelas dan berdiri tak mampu kutunaikan

Aku melamarmu
lewat dua sajadah
satu milikku
satu di belakang punyamu

Tentang WAKTU

Apakah WAKTU? Ia, serupa lumpang batu, tempat kutumbuk biji kenang, bersama butir doa, mimpi, serta curah air mata.

WAKTU juga semacam ulekan, tempat segala aroma dan rasa berbaur. Seberapa banyak putaran doa dan ragu yang kita bubuhkan?

Kadangkala WAKTU seperti wajan. Kita merebus isi kepala. Semakin matangkah biji-biji pikiran yang kita punya, ataukah sekedar melepuh bersama keluh?

Tentang SIANG

SIANG hampir menghilang. Ah, entah sudah berapa banyak cahaya matahari, yang berhasil kusekap dan memberi terang di dada ini.

SIANG adalah pagi yang kami tanam di ladang hari. Kami masih menerka-nerka, senja seperti apa yang akan kami petik sebentar lagi.

SIANG bagiku adalah saksi yang tegas, tentang langkahku yang gegas, gerak yang lekas, dan kenangan tentangmu yang terus membekas.

SIANG ini, di bawah tudung matahari, aku bersaksi tentang penatnya hari, dari jalanan yang kususuri, serta rindu yang kerap datang melingkari.

Dan di SIANG ini, aku belum mau berhenti, mengejar sisa matahari, membawanya pulang sebelum senja nanti, agar nyala perapian di rumah kami.

Somersault!

I get off the elevator on level six. Two buckets full of dirty dishwipes in each hand. I push open the door to the Emergency Staircase with my right shoulder. One flight of stairs I climbed up to the rooftop.

I walk towards several old washing machines in a corner. I dump in the washload. A cupful of detergent. Press a button and the cleaning starts.

The autumn air was crisp on the seventh. Houses below held their breaths. Clouds grouped and formed white shreds of cotton floating across the shimmering horizon. A crow cries somewhere afar.

I was ecstatic and felt like dancing. The wide open rooftop beckoned me to.

I walked over to the middle. Heartbeat accellerating.
It’s been how many years since I last did this?
I remember being good at it.
As I raise my hands in the air, I glance around at the nearby apartments.
Someone might be watching.
I didn’t care. I want to do this, and do it now.
Before I change my mind or chicken out.

I take two steps back and arch my spine.
I feel the strength surging to my hands.
Palms already layered with a film of sweat.
I move sideways, tipping my left upper body towards the asphalt surface of the rooftop.
I’m a pinnacle.
A wheel.
It all goes too fast, left hand, right hand… feet in the air but not as straight as I could do before.
Down turn, right foot touches the ground and then my left.
Back at one.
X form of me.

It was that thrilling.
I decided to do it again.
And several times more.

Thus I conclude:

Our body does not stiffen up due to age.
Our hearts do.
We do not lose the flexibility in our limbs.
We lose our confidence in being flexible.
Dance!
Jump!
Do what I did, on the hotel rooftop,
Somersaults!

Surat kepadaku 10 tahun lagi

Dear kamu,
Masih kulihat kecantikanmu memukau. Masihkah mereka melirikmu dengan kagum? Sungguh, kau masih sangat mudah menarik perhatian Dan sulit terlupakan.

Adakah kau masih peduli pada sekitarmu? Masihkah politik menarik perhatianmu. Kulihat banyak perubahan dalam dunia. Hmm.. Bahkan aku tak Tahu di belahan dunia mana kau berdiam sekarang. Meski aku yakin, di manapun kau berada pikiranmu Akan tetap sama. Kamu tetap keras kepala.

Ah! Kau pernah bilang, anak-anakmu adalah perhiasan. Kurasa mereka telah tumbuh menjadi berlian terindah dalam genggamanmu. Mungkin saatnya Tiba bagimu melepaskan mereka bersinar berpendar di dunia. Biar mereka menemukan pijarnya sendiri. Berbekal bimbinganmu selama ini.

Satu yang sebenarnya ingin kutanya. Meski kadang ragu haruskah kutanyakan. Masihkah dia meraja di hatimu? Adakah benar waktu menyembuhkan segala Luka? Ataukah kita biarkan ini menjadi rahasia entah sampai bila…

Aku ingin menuliskan senja di ufuk matamu. Agar rindu menggenang merah di sana

Aku ingin mengguratkan senja di dadamu. Agar kenanganku semburatkan rindu di hatimu

Aku ingin menumpahkan senja di kemejamu. Agar semua janjimu membekas di sana, mungkin satu Akan kau tepati

Aku ingin melelehkan senja di berandamu. Agar setiap waktu kau ingat aku, Dan ciuman kita senja itu

Aku ingin membingkai senja di pelukanmu. Agar kau membayangkanku setiap Kali dia bergayut di lingkar tanganmu, seperti aku dulu

Aku ingin memoles senja di sepatumu. Agar setiap langkahmu terarah menujuku. Aku masih menunggumu

Malam Paling Pedih

Inikah malam yang pedih.
Bintang mendelik curiga dan hujan semakin menggarami luka.
Bulan ikut mengerami kebencian.

Sebuah tanya terlepas tanpa meminta dijawab
seperti membiarkan angin bermain dengan matanya sendiri.
Antara mengecup daun atau merayu rumput.

Kita merayakan cinta yang digauli banyak orang.
Menepuk bibir pria tersesat dengan bibir,
menadah tangan bersama pengemis bau amis.

Coba kaulihat
Buku-buku dahan tak lagi nampak.
Tak jelas, mana yang tumbuh lebih dulu atau mati lebih awal.
Kita abai pada tempayan air mata
yang telah tumpah di beranda rumah.
Menadahnya dangan apa yang kita punya.
Dengan telapak tangan,
di guratannya mengalir enggan,
tak bisa diteruskan oleh perintah mata.

Bukankah telah kukatakan padamu
jika anak panah telah lepas dari busur,
hati yang paling raja tak mampu menariknya kembali.

Ini malam paling pedih.
Aku tak selesai bersedih.
Ini cinta yang tak pernah didih.

Yellow!

What is Yellow?

The lemon drops that chase away my tear drops
The post-its that remind me of things I might forget
The walls, soft creamy walls, we shall paint to brighten all our days
The pencils I use to bring to life what is on my mind and inside my heart
The jealousy I feel when I am insecure or having my PMS
The cake mom makes of butter, flour, cheese and eggs and last but not least
The yolks of my runny sunny side ups

But what reminds me most of that color lately

Is the funny little way you like to say “Hello”.

What is Life?

Life is not a matter of decisions when I’m with you.
I could perfectly know nothing about what awaits me when I choose the right path or the left, yet when you hold my hand all I know is I am in good hands.
Life is not a conformity during our time together.
It’s about listening to our inner children that follow the light of their own conscience not everybody else’s.
Life is not about being happy over other people’s miseries when you’re around.
It’s more like a live and let live situation. Love and let love.
Life is not about having to abandon one love to be with another when it comes to you.
It’s as if forever is not a limit and they are bound to accept some time.
Life is not about the past, present or the future when it comes to us.
It’s beyond that.
That is why I don’t know what it is.
Not just yet.

kita saksikan para remaja bercinta
seperti Sodom dan Gomorhha

dari ribuan malam yang meloncat ke ranjang
orang orang merayakannya
orgasme kemunafikan

kita tak pernah tahu, atau mungkin tak tahu?
dimana bola mata dan kaki kita
yang pernah hilang bertahun lalu
mungkin rayap telah menyimpan dalam perutnya
atau mayat mayat menjadikan bantal tidurnya
kita salib zakar itu di tempat tempat ibadah
di pasar pasar hewan
kita gantung payudara
di sekolah sekolah dasar, di gedung gedung pemerintahan
agar kata kata merajamnya
agar mata mata menikamnya
dan kita tertawa puas menyaksikannya

di rumah sendiri, kita meraung sepi
menatap kosong dinding kamar mandi
zakar sendiri tlah hilang dicuri

Sejoli

jam dinding itu jatuh di telapak tangan
lalu hancur, waktupun berkeping keping hancur
masih ada dilema yang tumbuh sebagai alang alang
dalam kepala
dalam rencana rencana yang tak dihuni manusia

(lalu merekapun beranak pinak, seperti kabut)

tubuh dan bayang bayang adalah sejoli
kembali bercakap dalam bahasa sunyi

kau menangis dalam cangkir kopi
warnamu lebih merdu dari sembilu
lalu kuteguk habis air matamu

kau merayu dalam asap
menyebar ke lereng senyap
lalu kugulung habis kau dalam dekap

kau menuliskan dirimu sendiri dalam puisi
bait sunyi yang tak juga dipahami
lalu kusalib engkau pada bukit imaji

Noktah Tak Terhingga

harusnya kamar yang pekat mengikat kakimu dengan tonggak dosa
agar kau mengerti bahwa
rumput rumput tlah mengering di luar sana

kau tak pernah mempercayai bahwa
tanganmu lebih serigala dari laut
kepalamu lebih jurang dari bebayang
yang sanggup melubangi usiamu tanpa sisa

kau adalah cuaca gelap yang ditawan semesta
jangan kau paksa memanjat tembok setinggi sabda

dengarlah hening,
kau merenung noktah tak terhingga