Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘@nugrahaarief’s poem’ Category

Kupelajari isyarat langit yang
semakin menghitam-membiru
Rembulan menyendiri
ditinggalkan sepi yang sunyi

: Apakah tadi malam
tangis tumpah di dadamu?

Telah kususuri jalan berkerikil
dari halaman rumahmu sampai sumur kering
tak lagi dipakai mandi
Orang tak lagi menyapa dengan senyum
Bibir mereka kebas dari derita
tak kunjung lepas

: Batu mana membuatmu terjatuh
dengan luka tak kunjung kering?

Aku gagal bermimpi dan mencatat
sebuah ingatan
Bola mata bulatmu
atau urai bulu-bulu halus kudukmu

: Di mana kau sembunyikan
lagu riang yang membuatmu menari
dalam hujan?

Bahuku tak sekuat jaring laba-laba
Dadaku hanya sebidang rindu memuja kepalamu
Aku tak mau
mengabadikan mendung di binar matamu
Cukuplah hanya aku

: Izinkan aku meminjam gelisahmu
malam ini saja

Read Full Post »

Dua Sajadah

AKU masih ingat
kisah cinta rajutan benang-benang makna
pada kain yang telah kumal
atau tangisan di sudut muka yang mengekal

Ini bukan lagi soal
siapa yang paling siapa
bukan juga tentang
mengapa dan kita apa

Tak perlu takut
bukankah ia telah ada di aliran darah kita
bagian yang mustahil dipisahkan
seperti malam dan gulita

Aku tak peduli
jika bukan ke kiblat kita mengarah
mesjid-mesjid yang berkenang pada
sejarah manis dari guru-guru kita
walau nyata tak pernah mau bersahabat

Bukan, bukan itu

Ini cinta yang ingin kita gelar
jauh ke depan altar paling mulia
menggambar senyum bidadari kecil
teman manja saat mesra atau pahit yang getir

Bergeserlah sedikit ke belakangku
sedepa dari ujung telapak kakiku
jangan gugat aku dengan ketidaksetaraan
ini bukan lagi soal ketidakseimbangan

Bertahanlah sampai lafadzku tak lagi jelas dan berdiri tak mampu kutunaikan

Aku melamarmu
lewat dua sajadah
satu milikku
satu di belakang punyamu

Read Full Post »

Inikah malam yang pedih.
Bintang mendelik curiga dan hujan semakin menggarami luka.
Bulan ikut mengerami kebencian.

Sebuah tanya terlepas tanpa meminta dijawab
seperti membiarkan angin bermain dengan matanya sendiri.
Antara mengecup daun atau merayu rumput.

Kita merayakan cinta yang digauli banyak orang.
Menepuk bibir pria tersesat dengan bibir,
menadah tangan bersama pengemis bau amis.

Coba kaulihat
Buku-buku dahan tak lagi nampak.
Tak jelas, mana yang tumbuh lebih dulu atau mati lebih awal.
Kita abai pada tempayan air mata
yang telah tumpah di beranda rumah.
Menadahnya dangan apa yang kita punya.
Dengan telapak tangan,
di guratannya mengalir enggan,
tak bisa diteruskan oleh perintah mata.

Bukankah telah kukatakan padamu
jika anak panah telah lepas dari busur,
hati yang paling raja tak mampu menariknya kembali.

Ini malam paling pedih.
Aku tak selesai bersedih.
Ini cinta yang tak pernah didih.

Read Full Post »

Tubuhnya,
sekekaran semu yang selalu ia banggakan pada anak-anaknya
batang kelapa yang menjulang
tak gopoh dihempas angin yang melaut
anak-istrinya hanya perlu tahu itu.

Kantung matanya,
binar yang semakin meredup
cahaya lampu pijar membiaskannya
di ruang berbilik
rapuh disepuh waktu
berisi cerita sejuta pandang
mengawang mencari sebakul nasi matang.

Kerutan jidatnya,
selalu terlihat jelas jika ditanya anak-anaknya
apa yang akan dimakan esok hari
jangan kau tanya ada apa di balik
tempurung kepala
ada rencana ini-itu, itu-ini.

Basah ketiaknya,
yang tak pernah dicukur rapi
semenjak kelahiran anak keempatnya
semacam pelindung iritasi
jika kedua lengannya beradu lebih cepat dari biasanya.

Uban rambutnya,
jika ditanya anaknya apa yang membuatnya memutih
“suatu hari jika aku telah tiada,
kau akan mengerti kenapa ini terjadi”,
itu jawabnya.

Bibirnya yang menghitam,
bekas mencumbu hidup yang kelam
mencium aspal jalanan di pekat malam
di sebatang rokok yang hampir habis
tersusun rapi cerita tentang cinta yang bekerja.

*untuk Ayah atau apapun sebutanmu*

Read Full Post »

DAN kita kembali terdiam.
Setelah doa panjang tiada henti.
dan kabut yang perlahan menipis.

Tangis seakan tak pernah diingat.
sedang haru meluruh entah kemana.
Di mesjid yang awalnya ramai,
sajadah telah terlipat dengan rapi
Tiap kita melonggarkan shaf,
lalu, membebal tanpa kesal.
Corong masjid jadi bebunyian paling menjemukan.

Pelataran telah bersih.
Anehnya, kita kembali membuang
kotor dan melumpuri dinding-dinding pengharapan.

Tak bosan kita tumpahkan darah lagi.
Tak pernah cukup bekas luka
yang bahkan belum kering.
Menguliti daging putih tanpa darah,
membanggai luka-luka di atas senyum.

Entah, pertanyaan macam apa yang sanggup menahan kita kembali.
Atau mungkin kita terlampau rindu
berada di sisi kelam,
Menjadi alasan membunuh tanpa dikenali.

Kutanyakan kembali padamu, Kawan.
Apakah kita tak pernah cukup belajar?

Read Full Post »

KUPIJAKKAN kakiku di atas sendu luka dan pilu,
agar kau tahu aku mencintaimu.

Letakkan semua di bayang yang melayang.
Biarkan terpa angin memberinya tempat, tertiup ke sana,
ke misteri tuhan paling paripurna.

AKU misterimu, tersimpan aman di tangan sang maha kuasa.
Mampukah kau bawa aku,
keluar dari keindahan ini?

Aku merayakan misteri. Membuka tanya, mencari jawab perlahan,
tapi cemas.
Itukah kamu?
Karena indah tak mungkin lepas dari keindahan.

TANYA pada hatimu, kau pasti tahu jawabnya.
Perlahan tak usah terburu nafsu.
Keindahan tak kurang dari sebuah kata yang indah.

Hatiku,
senandung bunyi tanpa irama. Begitulah ia tanpamu.
Dan indah?
Kukenali di Beranda hatimu tempat aku bernyanyi tanpa malu.

KUDENGAR nyanyian merdumu yang kadang sendu,
kusimpan beberapa lirik lagu.
Ia mati jika tanpamu.

Mari nyanyikan lagu yang kita telah pahami, tanpa kata.
Biar bebunyian yang memandu, dan
kita kembali saling merindu.

* sebuah catatan malam dengan @LoLyPoP64 *

Read Full Post »

dengan apa?

KITA bercerita tentang rumah tanpa beranda, tentang lilin yang tak lagi mampu menyala. Lalu, bertanya tentang hal nyata.

KITA,
biduk yang berbeda di telaga maha luas.
Dengan apa kau mengenaliku?

KITA,
sebuah sajak usang yang tak laku, ditinggalkan penulis yang menyerah.
Dengan apa kau memahamiku?

KITA,
buku lama yang berdebu, terobek, terpajang di etalase toko yang tak lagi dikunjungi.
Dengan apa kau menemukanku?

KITA,
lagu yang tak berirama, berlirik sedih, sulit dimengerti.
Dengan apa kau menyanyikanku?

KITA,
kopi pekat yang kehilangan panas, bersama hujan menyetubuhi gigil.
Dengan apa kau menikmatiku?

KITA,
tanda tanya dengan segala kemungkinan,
tak ada jawaban pasti, bukan tentang benar-salah.
Dengan apa kau menjawabku?

DENGAN APA?
Aku pun bertanya padamu.

Read Full Post »

Jarijemari bingkas dirajam pecahan lara. Ia bersekutu dengan kutub utara.
Dua ranjang ukuran sedang saling pandang.
Sesosok telah dinanti malam yang tak lagi berharap datang.
Aku ingin menuliskan sajak tentangmu di dinding kamar hotel.

Ini boleh ku mulai dari mana saja.
Di ujung dekat kamar mandi, atau
Di samping televisi dengan siaran yang tak ku lihat.
Di dinding segapaian tangan kasur empuk yang tak ku temui di rumah.
karena, jika lelah bersajak aku mudah tertidur begitu saja, atau
Di sebelah lukisan pria yang sedang menangis.

Di hotel ini aku rajanya.

Dingin suhu kamar sudah pas.
Detak jam digital telah berdetak senada deru desahku.
Dan sepi tak pernah gagal mencipta inspirasi sejak aku menulis sajak.

Masih saja aku meratap dinding bercat kertas.
Merasakan pena yang tiba-tiba berbobot beban sangat sarat.

Waktu melipat bayanganmu dengan sempurna lalu menyimpannya di palung terdalam.
Waktu yang mengingat lekat langkahmu yang semakin menjauhiku.
Perlahan, pasti.
Mengambil paksa semua cerita tentangmu.
Menyisakan hampa yang tak terlukiskan.

Aku ingin menulis sajak cinta di dinding kamar hotel, tadinya…

Read Full Post »

Cerita Dua Kursi

Dua kursi terentang jarak luas di antaranya.
Cerita dari mereka tentang rindu melalui katakata,
Atau cinta terlarang yang telah dipahami mereka.
Dan orang yang tak mengerti memberi larangan.

Dua kursi di ruang kubik, bersekat, lagi pengap.
Tentang hati yang tak pernah duduk bersama di tempat yang sama.
Mereka merindu lewat layar persegi di muka,
Atau kisah harian terpapar dari telepon seluler canggih.

Dua kursi tak memberi cukup kursi selain mereka.
Karena satu cukup untuk cinta mereka.
Memaki pada waktu, dan meludahi jarak yang direntang dan dibenci.
Dua kursi yang merindu.

Dua kursi menyesali diri dari kenyataan
yang mendudukkannya di sudut berbeda.

Berdampingan kala sakit.
Berhadapan saat berbincang.
Berpunggungan dengan enggan.

Dua kursi terkapar.
Dua kursi berdoa.
Dua kursi yang khawatir.

Menitip cinta pada Kuasa.
Menanti cerita tentang cinta.

*untuk @kumabal*

Read Full Post »

Sudah ratusan kali engkau taburkan koin-koin emas ke angkasa.
Tangan-tangan yang pendek-panjang, lemah-kuat,
turut serta menyiangi udara.
Lalu, namamu disebut keras-keras melalui corong-corong pekak, lagi serak.

Aku tak mendengarnya. Sungguh!

Dahimu menghitam dan sajadah telah bosan kau ciumi.
Benang-benangnya tercerabuti.
Sorban dan kopiah yang kau kenakan dalam identitas diri.

Jangan temui Aku dengan memakainya!

Tanganmu kapalan menjijikkan
memutar-mutar rosario atau tasbih.
Bersalaman agar orang tahu jejarimu tak pernah lepas
dari bulatan serupa tahi kambing.

Dan Aku tak sekotor itu!

Aku tuli pada kata-kata yang terus engkau suruh orang lakukan.
Dengar, anakmu bahkan tak kau suruh hati-hati menyebrang jalan!

Engkau takuti mereka
dengan surga dan neraka.
Sedang Aku sudah tak berdiam di sana.

Sekampung tahu engkau berangkat haji,
pergi ke Vatikan, atau meditasi di puncak Tibet.

Tapi Aku tak mengantarkanmu.

Agama tak sebeda celana dalam yang dijual di trotoar penuh sesak.

Cobalah sekali lagi.
Tak mungkin Aku menemuimu dengan cara seperti itu.

Read Full Post »

Aku ingat tentang cerita mata yang selalu menahan duka.
Telah lama kantungnya semakin besar menopang cinta yang tak pernah dihitung bebannya.
Isak hanya terdengar oleh hati di malam paling sunyi yang pernah engkau kenali.
Pun oleh dedaun yang hanya melewati sekilas aliran selokan belakang rumah.

Aku ingat hingga masih membekas di otak yang bahkan tumpul ini.
Memerah selaput itu, menggantikan pelangi di sana sewarna darah.
Ia menahan gunung yang goyah dengan matanya.
Hingga tak pernah ada yang menghitung sebatu jatuh darinya.

Aku takkan pernah lupa dengan raut-raut yang bermunculan di sekitarnya.
Ia merenta dengan segala yang pernah dikenangnya.
Itu raut sayang yang muncul sengaja ia pinta, kata Ayah.
Itu hiasan paling indah hanya agar jadi saksi di depan Tuhan.
Tentang benih yang tumbuh menjulang.

Aku mustahil tak ingat.
Binarnya sehangat pelukan musim semi.
Menenangkan.
Meyakinkan.
Tak ada tanda tanya di sana.
Tak ada jeda darinya.

Dan sajadah lagi-lagi tak pernah berdusta tentang cerita mata yang tak usai berdoa.
Di malam hari di malam dingin seringkala terlupa oleh buah hatinya.
Matanya tak lagi basah.
Tak ada yang perlu dibasuh.
Malam ini,
Malaikat bersemayam di sana selamanya.
Di matamu, hujan pun menangis.

*untuk mama*

Read Full Post »

Tak ada Tuhan di mimbar masjid yang sering kau datangi.
Tak kau temukan pula di deretan lilin atau gema lonceng gereja.
Jangan kau kira dia berumah di vihara atau klenteng berbau dupa.
Tapi, jangan berharap Dia bersantai di pura paling indah di tepi pantai.

Dia tak berumah di sana.
Mungkin saja merasa sesak
Lalu muntah di halamannya.

Ambil langkah sejenak.

Dia mendekap anak jalanan yang tadi malam menggigil tidur beralaskan kardus.
Dia ada di tangan pengemis renta yang mengadah lagi berkusta di trotoar yang kau tak peduli.
Dia bernyanyi bersama anak-anak yatim di gubuk reot tempat syukur yang tak pernah kau dengar.
Dia menguntit PSK yang menjajakan diri di gang-gang sempit ditontoni tikus busuk.

Tak ada Tuhan di rumah ibadah.
Tidak pada corong pengeras suara masjid atau kidung pujian di gereja.
Dia tak lagi ada di tasbih atau rosario.

Dia bosan dengan sebutan yang beda-beda untuknya.
Dia jerih namanya hanya untuk politik kotor.
Dia marah pada amarah orang yang membunuh atas namanya.
Dia teriak dan orang bodoh tetap memuja kedunguan mereka.

Jangan Tuan cari Tuhan di rumah ibadah.
Tadi malam, Dia telah pindah.

Read Full Post »

Biarkan doa melirih malam ini,
lebih dalam.
Pada remang
yang semakin gelap.
Si Alif meluapkan gelisahnya.

Ruang tak bernama itu riuh ramai.
Lenguhannya lebih jelas.
Gundah – Gembira.
Ada yang datang.
Ada yang pergi.

Tak kurelakan sesal yang datang di akhir.
Malam malam terlewat sempurna.
Sempat-tak-sempat gemar jadi alasan.

Di penghujung.
Di perpisahan yang tak disukai.
Aku bergumam pada Tuhan.
Pulangkan aku kembali tahun depan.
Kumohon Tuhan.

| di persimpangan antara Ramadhan dan Syawal 1431 H |

Read Full Post »

Aku Menyerah

Aku mengambang.
Hampa tanpa lambang.
Ada kisah yang terbayang di sudut bimbang.
Aku hampir menyerah.

Setelah pedang terhunus.
Detik detik ragu merambat dari pangkal,
menjilati bagian yg tajam menjadikannya menumpul.

Pasir berdebu tak dapat terkibas.
Tangan kebas menebas tak guna.
Gemuruh dada tak disangkal.
Aku hampir menyerah.

Pada detik yg hampir terlambat.
Pedangku jatuh bersatu dgn debu,
tersangkur sempurna.
Gemuruh dada tersedak.
Terlepas.
Lalu, hilang.

Ini saatnya.
Hati melirih lebih sedih.
Melepaskan gemuruh ke langit
terbang berbuih.
Aku menyerah.

Read Full Post »

Detik bergerak lambat pada dua hati mencinta senja
Ada lariklarik kata yang bertahta…

@kumabal:
Rindu tertanggal di telpon yang tak kau angkat semalam.
Aku seragam kesepian tak berbalas kata,
terluka oleh tak acuh gerikmu.

@nugrahaarief:
Membuncah.
Masihkah luka sepi itu membekas?
Intip jendelamu, sedari subuh ku kirim sepasang merpati
maaf, menunggu senyummu.

@kumabal:
Pesan diterima.
Lalu, adakah senyummu di situ?
Itu penanda warna langitku hari ini.
Jangan kelabu lagi.
Ku tunggu di senja.

@nugrahaarief:
Di hati ku ukir serekah senyum surga.
Ini untukmu.
Berbaris rapi simponi cinta melumat kelabu.
Di senja yg kita kenal,
rasa kembali terajut.

@kumabal:
Aduhai, si lega menyusup haru.
Hei lihat!
Arakan awan putih ikut menggodaku!
Ada siluet senyummu merekah disana.
Menaklukkan ragu.

Tertahan.
Kata tercekat di udara, bergeming di ruang hampa.
Melirik senja yang telah terbakar. Hampir sempurna. 

@nugrahaarief:
Adakah kau di pokok eboni senja ini?
Gemerisik daunnya seperti
suaramu memanggil lembut

Di sini kumenanti bertopang rindu,
bersandar harap.
Setiaku sampai eboni mati saat senja tak lagi ada.
Sudikah kau singgah senja ini?

Senja. Tempat orang mencinta.
Senja. Di sana ada aku. Datanglah.

@kumabal:
Di sini ku bergegas lekas,
berlari menujumu.
Gemerisik dedaunan eboni
menghantarkan dengung rindumu.
Aah, tunggu aku senja!

@nugrahaarief:
Pelankan langkahmu.
Sungguh desir desir ini merayap menjalari hati saat aku menantimu.
Aku ingin menikmati itu.
Ada cerita yg kusiapkan.

@kumabal:
Pelankan langkah?
Ssstt, ratu peri eboni menjemput.
Sudah lama para kunang eboni merindu,
nantikan kita nikmati senja di situ.

@nugrahaarief:
Adakah senja penuh senyum padamu?
Peri itu doaku yang terejawantah,
sayapnya rinduku,
tongkatnya seindah pelangi habis turun hujan.

Tak perlu lagi kata.
Kita. Tak tergambarkan kata. 

@kumabal:
Memejam mata;
masih tersisa senyum senja dan pelangi.
Lalu erat-erat
aku memeluk perieboni.

Bersama senja yang tenggelam.
Berdua kita. Di sini.

Read Full Post »

(1)
Pencuri hati | di dalam mimpi indah | tercekat sepi | melagukan elegi | tersandung pada cinta

(2)
Menepis kalut | dalam pagi berkabut | wangi rerumput | pikiranku menaut | menunggu kian karut

(3)
Sepi menjamah | salak keluh menjajah | hatiku kalah | ada luka bernanah | waktu kian menjengah

(4)
Terpasung hukum | dalam catatan pasti | adil terbeli | uang telah bicara | di Indonesiaku

Read Full Post »

Sajak Pagi

Sajakku terlampau dingin kubacakan.
Itu kala rumput rumput masih saja
berbilur kristal embun pagi,
bergelayut manja.

Dua pipit sejak tadi
bercicit di tubir parit,
meracau tentang angkasa yang elang rajai tanpa sulit.
Mereka tertawa lalu diam.

Di sudut zaal lain,
tergolek tak berdaya. Lemah.
Masih bingung beda tarik
dan hembus nafas.
Yang lain lagi hanya diam.

Syukurku bukan tanpa sebab.
Tak lagi mata sembab.
Aku tahu aku sebab
karna pena membebat kata
seperti yang aku maksud.

Aku menderai satusatu kata alam.
Lalu memberi birahi
pada tiap patahannya
agar ia mampu menggoda,
menari meliuk.

Seperti murbei yang menjadi merah
karna ranum.
Atau kuncup mawar yang perlahan
merekah.

Berharap surya bergegas lebih cepat.
Mengusir halus butir langit
yang menghantam tanah.
Jemu.
Tik-tik. Tik-tik.

Maka kukepakkan kata bersayap.
Biarkan terbang menuju
jiwajiwa yang hampir mati.
Ambillah jika kau suka.
Bersama pagi aku menari.

Read Full Post »

Sungguh…
tubuh ini semakin meringkih
agar cukup rumah sederhana
untukmu dan anakanakmu.

Sungguh…
mata ini akan menatap
lebih lama dari biasanya,
agar kau tahu mata ini mata cinta
yang kupersembahkan
untuk menghidupimu.

Sungguh…
genggaman tanganku
akan semakin erat
saat badai menggoyahkan.
Tangan ini tangan yang
selalu bisa kau andalkan.

Sungguh…
kaki ini akan kuat
berjalan lebih jauh,
agar kau paham,
di belahan mana pun rejeki,
itu kuambil untukmu.

Sungguh…
peluh ini setara tetesan doa malaikat
yang meretas di langit ke tujuh.
Pahamilah,
aku sanggup menenggelamkan
bumi dengannya.

Sungguh…
telinga ini kusiapkan
agar mampu mendengar hatimu.
Ku dekatkan diri lebih dalam
agar aku tak salah langkah.

Sungguh…
tekad ini kian membaja seiring waktu.
Rasakanlah saat mentari begitu jahat,
dan aku tetap menantangnya
demi kamu.

Sungguh…
pikiranku memenuhi sebagian besar dari harapmu.
Diamlah di sana,
agar durjana dunia
tak sempat mengotorinya.

Sungguh…
hatiku, adalah hati yang memujamu
karena tuhan.
Di tempat itu,
aku beralaskan ikhlas menemanimu
sampai azal memisahkan.

Sungguh…
senyum ini akan jadi hiasan terindahmu
saat getir dunia meraja,
merontokkan keyakinan.
Terucaplah sabar dan kebaikanmu.

Sungguh ini aku…
Persembahan terbaik
diriku, untukmu.

Read Full Post »

Siapalah Aku

Siapalah aku…
Tak perlu memicingkan mata.
Lipat saja senyum getirmu.
Aku terlanjur mencintai kata.
Hanya itu.
Tak lebih.

Siapalah aku…
Tak kudengar serapahmu
sedekat apa itu.
Aku tuli.
Resahmu tak kuperlukan,
karna anjing pun
menggonggong.

Siapalah aku…
Aku tak mengerang karnamu.
Tolong dengarkan
sedekat lidah dengan gigimu.
Cium selekat kotor hidungmu.
Lalu, berkacalah.

Siapalah aku…
Berhenti saja.
Itu tak pernah cukup
buat hujan jatuh ke atas.
Percuma.
Aku tak lebih dari rima
yang bernyanyi bersama
gerimis senja.

Read Full Post »

Purnama ke-6

Tuhan, rasanya tak berlebihan bukan.
Aku hanya ingin menjadi
secangkir teh hangat
saat hujan terlalu dingin untukmu.

Coba kau pandangi jendela kamarmu.
Aku titipkan doa dan rindu
pada tiap bulir hujan yang turun.
Jarak ini
tak mampu mengusir rindu.

Lautan lepas memisahkan
rindu dan pemiliknya.
Terpujilah awan,
terpujilah angin!
Tanpanya,
harum rambutmu mungkin
sudah kulupa.

Malam ini,
ku pandangi bintang utara di langit.
Bintang yang kau bilang
jadi petunjuk nelayan pulang.
Masih jelas ceritamu waktu itu
di dermaga.

Kau gambarkan garis maya
yang menghubungkan satu bintang dengan
bintang lainnya.
Pada saat yang sama,
aku hubungkan garis maya
dari hatiku ke hatimu.

Sungguh waktu itu kau tak tahu.
Aku benar-benar berhasil
menghubungkan garis itu!
Aku gembira, aku melompat-lompat,
aku tersenyum,
tanpa kau tahu.

Saat itu diam-diam
aku berbisik pada malam
agar merayu waktu
untuk berhenti sejenak.
Hanya sejenak.
Ah, aku kecewa,
aku marah,
rayuannya payah!

Lalu, subuh datang
bagai kawanan perompak di laut lepas:
cepat, beringas, tangkas
mengambil semuanya.
Hanya menyisakan satu:
rindu!

Subuh telah bosan,
laju roda seakan lambat menuju Bandara.
Aku lukis rindu di langit
tanpa kau tahu.
Berharap, kau duduk
dekat jendela pesawat dan
mengenalinya di udara.

Kecupanmu di bandara
buat mentari cemburu.
Kau lihat itu,
dia sembunyi di balik awan.
Kubisikkan dalam pelukan:
aku jemput kau dalam 6 purnama.

Malam ini,
sehari sebelum genap purnama ke-6.
Detik berjalan sangat lambat
tak lebih dari 1 nano-detik.
Apa kau masih akan tetap sama?

Read Full Post »

Aku, kamu; dua insan menulis cinta
dengan tanda baca.
Mengukir aksara CINTA
sebelum titik mengakhirinya.

Jika aku koma,
kau pasti menjadi titik.
Bersama kita buat kata melompat,
tersungkur, menangis, lalu terbahak.
Kita abadi di noktah terakhir.

Jika kau titik, pasti aku koma.
Berdua kita titik koma,
yang menawar penghabisan menjadi jeda.
Dan cerita tak menemu
ujung yang berhenti.

Bila kau tanya, sedang aku seru.
Kita damai dalam jawab.
Menyihir gemuruh, gempita,
gemerlap dengan kata.

Maka aku pun menjadi tanda seru.
Penegas yang pasti,
penanda bahagia tanpa batas.
Bersama, kita buat kisah yang
menarik sampai mati.

Maka Engkau pun menjadi tanya.
Menjadi pengingat rasa luka,
saat cinta terlalu berkuasa,
membuai jiwa dengan suka.

Maka kita,
adalah sepasang tanda kutip.
Mengawali kisah di cinta dan
mengutipnya dengan helaihelai
kenangan yang mengabadi.
Di sini, rumah kita.

Aku dan Engkau,
lalu serupa sepasang manusia
di depan titik dua: KITA.
Tanpa tanda,
bukankah cinta telah bertandang
di titik, koma, seru
yang bertanya tentang katakata?
Lalu menyihir keindahan:
KITA.

Jadi,
bolehkah aku tanpa tanda?
Aku hanya bisa berkata, lalu
sempurnakan aku dengan
tandatandamu.
Bukankah
kau penyempurna?

~kolaborasi bersama @eswlie dan @menghujam~

Read Full Post »

Jika tiap menatap wajahmu,
surga serasa di sedepa
dari telapak kaki,
aku ingin selalu di dekatmu.

Ada rasa yang terus kujaga,
ada asa yang mesti terwujud.
Izinkan tangan merengkuh tubuhmu,
sampai berjelaga di makan malam.

Maka, malam adalah teman terbaikku di rantau.
Memujamu dalam tiap sujud panjang.
Di sini, aku merajut baju hangat
untuk kau pakai.

Rajutannya adalah doa,
benangnya dari harap yang terendap
di kawah merapi.
Adakah dingin melagukan kelam
yang merayap perlahan di hatimu.

Jika bintang berharap pada malam,
maka aku bersandarkan harap yang
menghujam sampai langit.
Di sana, di tempat
kita saling mencumbu
rindu.

Ataukah aku harus merangkak,
menikmati pedih kaki
menuju indahmu.
Lukaku, luka persembahan,
luka di luka.
Itu untukmu.

Rinduku berderap dari timur ke barat.
Memekakkan takut yang
beringsut selaksa langkah
pasukan Badar,
gegap gempita.

Di ufuk barat, perhentian terakhir.
Rumah hangatmu.
Sesederhana menikmati senja
sampai nama kita terukir
di nisan kubur.

Read Full Post »

Tersesat

Pernahkah kau tersesat
dalam suatu dimensi?
Ya, aku pernah dan saat ini
sedang tersesat di dimensi hatimu.

Ada setampuk harap
keluar dari dimensi itu.
Ku siapkan perbekalan terbaik,
kompas dan GPS paling mutakhir.
Semua terasa tersia.

Tak ada guna
kubawa semua itu.
Berulang kali mencoba keluar,
berkali pula terbawa ke tempat asal.
Linglung tanpa arah,
tanpa cahaya.

Ada senyum
kala kukenali tempat ini,
dimensi ini.
Bahagia menyeruak
di tengah sepi.
Apa kau tak ingin
aku pergi dari hatimu?

Tetaplah begitu adanya.
Jika kau mau,
aku buatkan rumah di sana,
hangatkan hatimu dengan perapian
abadi dari kawah Semeru.

Ku eja doa
pagi dan senja.
Temani duniamu yang
penuh bahagia.
Di sini, di tempat ini,
aku begitu dekat,
sedepa dari jantungmu.

Aku berkalang jelaga,
bertulang belulang.
Di sini tempat terakhirku,
dimensi hati yang
kupuja krn tuhan.
Aku mati bersamamu.

Read Full Post »

Ada rasa yang terus kujaga,
ada asa yang mesti terwujud.
Izinkan tangan merengkuh tubuhmu,
sampai berjelaga di makan malam.

Maka, malam adalah teman
terbaikku di rantau.
Memujamu dalam tiap sujud panjang.
Di sini, aku merajut baju hangat
untuk kau pakai kala dingin memelukmu.

Rajutannya adalah doa,
benangnya dari harap yang
terendap di kawah merapi.
Adakah dingin melagukan kelam
yang merayap perlahan di hatimu.

Jika bintang berharap pada malam,
maka aku bersandarkan harap
yang menghujam sampai langit.
Di sana, di tempat kita saling
mencumbu rindu.

Ataukah aku harus merangkak,
menikmati pedih kaki
menuju indahmu.
Lukaku, luka persembahan,
luka di luka.
Itu untukmu.

Rinduku berderap
dari timur ke barat.
Memekakkan takut yang beringsut
selaksa langkah pasukan Badar,
gegap gempita.

Di ufuk barat, perhentian terakhirku.
Rumah hangatmu.
Sesederhana menikmati senja
sampai nama kita terukir
di nisan kubur.

Read Full Post »

Selamat Malam

Adakah peluh mengalahkanmu malam ini?
Tetesnya terkumpul pada cawan yang menjadi pekat.
Ronamu menyaru menelisik gelap yang berhitung mundur.

Suara melirih dibebat keringat hari tanpa ampun.
Doa msh sempat kau ukir pada pokok cemara di halaman.
Ada sisa senyum yang kau simpan untukku.

Perlahan malaikat turun menyapamu, dekat, tak lebih sedepa.
Lalu rima terngiang merdu
meredakan gemuruh yg mengusik hatimu sedari pagi.

Beban mulai tertanggal, tertinggal di undakan tangga.
Perlahan hati merapal syukur yang alpa tanpa sengaja,
tanda cinta pada penguasa rasa.

Hari telah menggenapkan dirinya pada gelap yang jumawa.
Kurelakan tubuh pada kidung rindu untukmu.
Menenangkanku jauh lebih dalam.

Tidurlah…
Relakan redup yang menghidupimu
Esok hari.

Read Full Post »

Malam Beringsut

Malam mulai beringsut
sedang pagi masih tergagap.
Direlakannya cerita yang tertuang
pada nampan tanpa nama.

Malam mulai beringsut
dan doa ibu tercekat
pada bilangan jam.
Dibiarkannya tuhan
melanjutkan lirih doanya.

Malam mulai beringsut
sementara tangan berkerut
kehabisan tenaga.
Diikhlaskannya lembaran kecil
rupiah di kantongnya.

Malam mulai beringsut
saat bulan masih hangat cercah gemintang.
Mereka tahu masih ada kesempatan
untuk selalu bersama.

Malam mulai beringsut
tatkala rindu hampir membuncah.
Dititipkannya pesan pada mimpi,
agar kau terbangun dan sebut namaku.

Malam mulai beringsut
dan aku sulit terlelap.

Read Full Post »

Ku temukan larik-larik suci berdebu pada kelopak dunia yang kian mengusam. Tersudut sendiri, menangis tanpa derai. Airnya tandas menanti tangan menjamah.

Isaknya teredam dalam lara. Lima waktu tak cukup membuatnya dilirik, walau sejenak. Pernahkah bahkan sedikit teringat larik tuhan itu?

Malam seperti cawan penyimpan muntahan durjana. Belulang kelu dirajam seharian. Mata tak sanggup, lalu relakan diri pada lelap.

Pagi, diburu menderu, melompat bagai kuda bersuara parau. Tak sempat terpekur lama, dan jarak terlanjur diukur, lalu berlari, tak sempat menoleh.

Siang, tanpa ampun, melenggang penuh goda, semerawut nanar mata menggerayangi. Lupa ada di puncak mentari. Lagi, larik tertunduk layu, tak berharap banyak.

Berulang seperti siklus setan, lagi-dan-lagi. Air matanya tandas ke dasar terdalam. Teriakan yang mustahil terdengar. larik berurai tangis.

la menyeka sembab di sudut mata. Sayup terdengar pada bilangan detik sebelum ramadhan. “Sentuh aku, mungkin ini yang terakhir bagimu”.

~menampar pipi sendiri saat menulis ini~

Selamat datang Ramadhan Mulia…

Read Full Post »

Pada Hari Itu

Angin tak berlirih. Gunung gemeletuk terkutuk. Malaikat ketiga bersiap dg tiupan pamungkas. Diam. Terhenti. Lalu, MELEDAK!

Semua senyap sejenak. Seketika berhambur perut bumi tak terperi. Jatuh. Tersungkur. Makhluk jumawa tenggelam bersama dosa.

Jari tak lagi sempat menuduh. Mata nanar menyapu pandang melebihi debu tanpa saru. Bergidik tak terbayang, menangkap gambar tulang putih, tanpa darah.

Maka, gunung tak lebih berat dari buluh. Laut bagai bah tersiram dari langit ketujuh. Sulit mencerna beda darat dan laut. Berhambur semua yang tak pernah dilihat. Angkuh, sangar, mematikan tanpa ampun.

Lalu, malaikat maut tak lebih dari secenti dari tanah. Meraup tak pandang bulu. Ahli ibadah dan pendosa terbeda pada senyumnya. Tak ada noktah yang nihil terlewat.

Tak sempat berkedip. Semua sirna. Pada hari itu. Berakhir.

Read Full Post »

(1)
Malamku meragakan gerak bibir merahmu di gagang telepon. Terlantun suara merdu yang ingin kudengar, saat diri terlalu takut hadapi dunia.

(2)
Bejana hampir tandas, sisakan lagu yang masih ingin ku lihat malam ini. Terlalu lelah mata mendengar. Bertukar peran yang menjemukan.

(3)
Ada cerita yang tak sempat ku tulis, ada senyum yang tak lagi ku hapal bentuknya. Cahaya menyilaukan, hampir tak berpendar pada malam yang tak lagi gelap.

(4)
Tuntun aku masuki rona indahmu saat galau terlalu dingin kupeluk. Tongkatku nyaris patah beradu keras batu sedang Waluku enggan memandu.

(5)
Pada menit kelima, bawa aku jauh, melihat tubuh rapuh dimakan sembilu. Rebahkan aku di peraduan sarat gemintang. Peluk lebih erat.

(6)
Inilah sisa diriku, kulipat rapi lalu kularungkan di sungai tanpa nama. Jika sampai pesanku, tolong ingat namaku, dan sebut aku saat fajar telah siap menjemput.

Read Full Post »

Rinduku sering salah alamat. Adakah aku bodoh, ataukah aku membuka buku alamat yang salah, wahai Tuhan?

Menasehati orang untuk baik kerap jadi kesenangan. Bukankah sudah Kau ingatkan: Murkamu besar jika tak sendiri lakukan. Duhai Tuhan, ampun.

Pandai aku bicara dunia. Cermat menghitung yang fana. Sesekali aku baik, seratus kali jadi buruk. Aduhai, Tuhan, adakah Kau hitung yang satu itu?

Aku mengukur jarak denganMu. Sedepa Kau berkenan mendekat, berjuta mil ego menarikku kasar. Adakah namaMu sempat ku ucap di akhir waktu?

Ah, Tuhan. Tak banyak kuminta. Berkedip saja lihat aku, setitik restu di sudut mataMu.

~beberapa hari menjelang Ramadlan~

Read Full Post »

Doa

CINTA #mauku
sederhana,
melihat senyummu
saat bangun,
sesaat sebelum
terlelap, dan
bersamamu di
antara keduanya.

Read Full Post »

Dan kau msh membisu sedang tanganku mulai kelu membiru mengetuk pintu saat badai tengah betah bertemu langit.

Adakah badai yang menutup telingamu, ataukah ketukanku tak cukup keras?

Bagaimanakah pintumu kau buat. Tangan ini terluka tiap kali mengetuknya. Tapi sungguh ini luka yang aku suka.

Maka kujerat angin, kutitipkan sejelas pesan untukmu di dalam. Hanya angin yang menembus pintu lewat celah kecil di bawahnya.

Kucoba teriakkan namamu dari lubang kuncinya. Entah, namamu selalu terpantul pada dindingnya. Tak mampu sentuh rambutmu seinchi pun.

Sungguh kurasakan hangat rumahmu. Perapian yang menyala abadi. Hidangan nikmat yang sederhana. Aku rasakan itu. Aku rindu itu.

Aku meringis sebentuk tangis, berdarah semerah resah. Badai tak mungkin bersahabat denganku. Menolehlah, kumohon.

Seperti Burung Namdur memikat betina, kubawa persembahan terbaik. Sejumput harap dari surga, selaksa doa dari pecinta kasih.

Sebelum ketukan terakhir, sebelum badai mereda. Lihatlah aku. Aku menunggu.

Read Full Post »

TAK MAU TERLELAP

Tak mau terlelap
mata adalah kendaliku, sebebas aku menatap senyummu
ada wahyu yang seakan turun
layaknya nabi, aku berkeringat dan menggigil

Tak mau ku terlelap
walau malam mengaduh, walau bintang berkedip merayu
cahaya mulai bermain dengan kegelapan
sauh telah terangkat dan layar terkembang

Aku tak mau terlelap
memilih diri bercanda dengan waktu
sambil sesekali menggoda embun
menghirup wangi kopi
sisa gilinganmu tadi pagi

Tak suka aku terlelap
tak lagi aku pikirkanmu jika terlelap
tak lagi rindu ada, merasakan sayatan berdarah di hati
resapi garam yg sengaja kutabur di atasnya
agar rindu lebih terasa

Jangan paksa aku terlelap
aku tak suka bermimpi!
aku tak kuasa mengendalikan mimpi!

Aku bohong jika tak pernah lupakanmu
lelap pembunuh nomor satu rinduku
mimpi menelan habis lukisan senyummu pada senja
Aku lupa!
mimipiku tak selalu tentangmu, percayalah
lanjutkan rindu dalam mimpi itu kebodohan terbesar

Tak mau terlelap
karena aku sedang merindumu.

Read Full Post »

adalah AKU

Adalah BINTANG yang kerlipnya memantulkan indah lakumu,
lembut senyummu, dan bening jiwamu.

Adalah TANAH yang jejakmu tersimpan rapi,
bertasbih saat langkahmu menebar kebaikan di atas bumi.

Adalah ANGIN yang menyampaikan pesanmu, lewat daun
yang bersungging dg ranting, jatuh tepat di depan pintuku.
Pesan rindu yang terukir padanya.

Adalah JARAK yang kadang menghempaskan aku, beribu mil darimu,
merelakan tulang dan sendi rapuh agar kau nyaman di rumah mungil yang kubangun.

Adalah GELAP yang mengobati duri, menggantikanmu mencerabuti satu-satu,
lalu menuntunku menggambar wajahmu di wajahnya.

Aadalah AIR WUDHU yang membasuh hati, mengantarku
pada peraduan yang alami.
Saat tangan tengadah, kupastikan namamu diantaranya.

Adalah WAKTU yang kuminta meringkas kejadian agar cpt bertemu denganmu,
atau kumohon dia bunuh diri saat aku mengecup keningmu jelang tidur.

Adalah ANGKA yang tak mampu menghitung bahagianya
aku bersanding dengan namamu di kartu undangan pernikahanku.

Adalah SENJA yang cemburu padamu, karena bagiku,
senyummu tak terkatakan indah dari semburat merah di ufuk barat.

Adalah DOSA, kala aku hilap mengeja cinta,
menciptakan basah di pipi merahmu, basah penyejuk dahaga jiwa.

Adalah CERITA, yang ingin aku tulis bersamamu,
melengkapi ribuan mimpi tiap malam, sampai di titik terakhir.

Adalah PAGI yang membangunkanku dan berharap wajahmu
yang aku lihat pertama kali, kemudian bersyukur tanpa henti.

Adalah NISAN KUBUR, yang hanya akan memisahkan kita.
Di sana, tertulis hari terakhir aku mencintaimu di bumi.

Adalah AKU yang saat ini merinduimu, bersujud merayu tuhan utk menjagamu,
kala tanganku terlalu kelu membeku.

Adalah KITA, aku dan kamu. CUKUP

Read Full Post »

O, cinta, tulangku terpelanting, sedang sendi menjarah kesadaranku
peluh tak lagi ku hitung, penat tersekat di pintu keluar.
maka karyaku dipenuhi bayang tanganmu, jelas terlihat
kerjaku adalah rayu untuk suara lembutmu

Suaramu, suara yang mencinta senja
ku dengar melalui senyum seindah selengkung perahu nelayan
pergi melaut demi tawa penghuni rumah kecil di tepi pantai
Hanya itu yang kudengar.

Demi satu-dua batu yang menyusun gubuk hangat kita
cukup nyaman dari angin pantai malam yg membawa serta derita
menggemakan celotehan anak-anak surga yg tuhan titipkan padamu
tak seperti beton tinggi menjulang sombong di kota
gubuk kita bersahabat kebaikan
yang singgah meneguk setetes embun

Gubuk nyaman yg menyerap kebaikan alam,
kemudian menghangatkan kita dengan lagu puja-puji pada tuhan
pada suatu pagi, tangan surga menyentuh pipi
mengecup kita menjemput mimpi.

Read Full Post »

berkerut

senja merengut tnp senyum. tangan jahil menculik ditengah hingar alam, berdesing tak tentu. meramu muka tnp bentuk. marah tak terarah.

Read Full Post »

harap

berharap tepukan di pundak, lalu kau tenangkan aku #seperti bayi dlm sentuhan bunda. terhatur maaf pada #senja yg mulai membentuk senyum.

Read Full Post »